Munculnya nasionalisme yang tidak cerdas, dan tudingan miring terhadap pluralisme yang merupakan pilar penting bagi demokrasi adalah persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Pemikiran Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan pencerahan dalam menyelesaikan problematika tersebut.
Mengapa banyak orang dari berbagai negara datang ke Bali? Apakah karena Bali memiliki ciri khas terlalu internasional? Justru karena Bali tidak ada ciri khas internasional, tetapi ciri khas Bali: “The more you are national, the more you will become international,” makin nasional makin menjadi internasional.
Memiliki ciri khas mestinya bukan sesuatu yang menakutkan, dan juga tidak otomatis menjadi musuh daripada global. Keduanya bisa harmonis: saling menguatkan antara yang besar dan yang kecil, yang minor dengan yang mayor, yang global dan yang lokal. Plato, 2400 tahun yang lalu pernah berkata, jikalau seseorang mengetahui apa yang besar, apa yang kecil, besarkan yang besar, kecilkan yang kecil, utamakan yang utama, tidak utamakan yang tidak utama, dan merelasikan besar sama besar, kecil sama kecil, kecil sama besar, besar sama kecil, aku akan ikut orang itu sampai mati. Ini adalah filsafat untuk seluruh dunia, bukan hanya untuk satu negara, juga bukan untuk satu agama, dan bukan untuk satu masyarakat.
Swiss itu satu negara, bangsa Swiss itu bangsa Swiss, tetapi bangsa Indonesia bukan hanya bangsa Jawa, melainkan bangsa suku-suku, bangsa dengan begitu banyak etnik, sehingga Indonesia adalah PBB kecil. Jika Indonesia mempunyai negarawan yang berjiwa nasionalis yang betul-betul memiliki jiwa besar, kemudian mengelola dan membuat bangsa ini penuh dengan damai, maka semua pemimpin di PBB harus belajar kepada orang di Indonesia. Berapa banyak benih nasional yang berjiwa besar di Indonesia seperti Gus Dur? Berapa banyak orang yang masih mempunyai kemurnian jiwa nasional di Indonesia?
Sayangnya yang terjadi di Indonesia seperti apa yang dikatakan oleh Samuel Johnson, yang dijuluki singa literatur Inggris: “Nasionalisme adalah tempat perlindungan terakhir bagi bajingan-bajingan di dalam politik.” Orang memakai nasionalisme untuk menopengi diri, tetapi hatinya tidak mencintai rakyat. Itu adalah musuh dalam selimut, lebih besar daripada semua musuh internasional yang pernah ada.
Jika umat Kristen berada pada posisi mayoritas, dan memiliki pengaruh untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan orang-orang yang beragama lain, maka orang Kristen harus memberikan ruang bagi ekspresi keagamaan umat beragama lain. Pribadi yang berjiwa besar selalu memelihara, memproteksi dan menghargai minoritas.
Jikalau satu pemerintah tidak memiliki jiwa besar, tak mungkin pemerintah menoleransi yang minoritas. Minoritas tidak boleh ditekan, ditindas, dihina, atau direbut kuasanya. Minoritas harus diberi pengertian, kasih, perhatian, supaya mereka dirangkul sebagai suatu bagian milik dari sebuah negara yang besar. Biarlah semua orang yang berada di negara itu mempunyai hak untuk ikut campur di dalam pembuatan sistem di dalam pemilihan dan pembatasan terhadap penguasa.
Negara besar harus berhati besar, kalau umat Kristen menjadi mayoritas, umat Kristen tidak boleh menelan, merebut hak kebebasan umat beragama lain. Kita harus menghormati umat beragama lain. Ini adalah the fairness of being a leader of a government. Umat Kristen harus hidup berkeadilan sosial.
Karena itu tidak perlu malu dilahirkan dalam agama apapun. Tidak ada salahnya memilih agama. Demikian juga tidak perlu malu dilahirkan dari suku apapun, manusia tidak bisa memilih suku. Nothing wrong to be born as a Chinese, as a Bataknese, as an Ambonese, tidak salah dilahirkan sebagai suku apapun, tapi jiwa kita harus melintasi suku, adat, dan keterbatasan kultur. Itu akan menjadikan kita berjiwa global, berjiwa internasional. Karena yang disebut nasional adalah ciri khas yang tidak bisa kita tolak.
Orang Kristen bersama-sama dengan non-Kristen wajib menjaga perdamaian dunia, kerukunan umat beragama, dan etika agar moral masyarakat tidak semakin rusak. Orang Kristen bersama dengan orang yang bukan Kristen berada dalam satu dasar bersama, common ground, yaitu sebagai ciptaan Tuhan yang sama, memiliki hati nurani, serta memiliki pengertian tentang nilai-nilai moral, meskipun standarnya berbeda. Kerjasama ini bisa memperbaiki dunia dan mengubah kebudayaan manusia.
Kehadiran pemerintah, hati nurani, sekolah, pendidikan, kebudayaan, semuanya itu membuktikan adanya kekuatan anugerah umum (common grace) Tuhan yang berada di belakang layar. Sepertinya manusia yang bekerja, padahal semua itu adalah pemeliharaan (providensia) Allah. Anugerah umum membuat seluruh alam semesta khususnya sistem masyarakat bisa menjadi satu penopang untuk tidak mengakibatkan kemarahan Tuhan yang terlalu cepat untuk tiba.
Anugerah umum menyatakan keagungan, kebesaran, kesabaran, dan kelimpahan anugerah Tuhan untuk menopang dunia. Melalui anugerah umum itu Allah memberkati manusia yang adalah ciptaan-Nya, memberikan kebutuhan jasmaniah secara material kepada semua manusia. Dan itu juga merupakan penyertaan, pemberian kecukupan dari Tuhan untuk menopang hidup seluruh manusia. Doktrin anugerah umum ini mendasari kerjasama Kristen yang jujur dan tulus dengan umat beragama lain tanpa harus jatuh pada sinkretisme agama yang menafkan identitas agama-agama yang beragam.
Orang Kristen bisa bekerjasama untuk menolong orang miskin, membicarakan tentang keadilan, meskipun konsep keadilan tersebut pasti berbeda, tetapi ada konsep-konsep yang adalah anugerah Tuhan, supaya kita bisa rukun, bisa saling menghormati, di dalam hal itu kita harus mengerti bagaimana bekerja sama. Tapi, tidak ada kemungkinan untuk memimpin pada kesamaan, agama-agama itu adalah berbeda, dan memiliki konsep keselamatan yang berbeda. Kita memiliki kesamaan dengan umat agama lain karena berada di dalam bidang yang sama, namun waktu menuntaskan defnisi, tetap tidak sama. Karena itu orang Kristen menerima pluralisme agama yang bersifat non-indifference. Pluralisme yang tak menafikan keunikan agama-agama.
Bagi orang Kristen, respon yang diberikan kepada Tuhan disertai dengan pertolongan dari anugerah keselamatan (saving grace). Sehingga anugerah umum bisa dikoreksi. Ini adalah salah satu keunikan substantif orang Kristen dibandingkan dengan agama lain.
Empedokles, flsuf Yunani 2500 tahun yang lalu menerangkan, hanya dua unsur yang mengubah seluruh dunia. Unsur pertama mempersatukan, unsur kedua menceraiberaikan. Unsur yang mempersatukan itu unsur kasih, unsur yang menceraiberaikan itu unsur benci. Siapa musuh kita? Musuh kita bukan seperti apa yang dinilai oleh manusia. Rusia mengatakan Amerika musuh, Amerika mengatakan Rusia musuh. Islam mengatakan Kristen musuh, Kristen mengatakan Islam musuh. Tidak. Musuh kita justru adalah kebencian yang ada di dalam hati kita.
Orang Islam yang jujur lebih dari orang Kristen yang palsu yang bukan orang Kristen sejati. Ada pendeta palsu dan ada Muslim palsu. Pendeta yang benar dan baik dengan Muslim yang baik menerima anugerah umum yang agak dekat dibandingkan dengan orang Kristen palsu. Kerjasama orang Kristen yang sejati dan Muslim sejati, dan juga umat beragama lain merupakan kunci bagi penyelesaian semua problematika yang menjadi pergulatan bangsa ini.
(Disarikan dari ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong di beberapa seminar)
Sumber : http://www.reformed-crs.org/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar