Oleh : Rev. Dr. Richard L. Pratt Jr.
Janganlah menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia. Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak (Ams 26:4, 5).
Mengamati kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh pembela iman lain seperti yang telah kita lakukan dalam pelajaran terdahulu, memang ada manfaatnya, tetapi tugas kita yang lebih penting adalah mengembangkan pembelaan kekristenan secara alkitabiah dan secara positif. Oleh karena itu, dalam pelajaran ini kita akan berusaha untuk mengajukan struktur dasar dari sebuah apologetika berdasarkan petunjuk yang dapat kita temui di dalam Firman Tuhan. Namun sebelum kita memulainya haruslah diingat bahwa Alkitab tidak memberikan kepada kita petunjuk secara terinci mengenai langkah demi lahgkah dalam membela iman. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengakui bahwa struktur yang diajukan dalam pelajaran ini hanyalah salah satu dari sekian banyak prinsip- prinsip alkitabiah yang telah ada. Sehingga saran-saran dari pelajaran ini mungkin dapat menolong bagi sebagian orang, namun tidak demikian bagi yang lain. Sebab pada waktu tertentu hanya sebagian dari ide-ide ini yang akan cocok dalam situasi tertentu. Namun apapun pendekatan yang diadopsi, kita harus pasti bahwa metode ini sejalan dengan prinsip alkitabiah yang telah kita diskusikan pada pelajaran terdahulu.
A. Penginjilan dan Apologetika
Hal penting dalam struktur dari pembelaan alkitabiah adalah relasi apologetika dengan penginjilan. Banyak praktek-praktek yang tidak alkitabiah timbul dari kesalahmengertian hubungan antara apologetika dengan penginjilan. Penginjilan dan apologetika adalah sama dalam beberapa hal. Keduanya merupakan tanggung jawab dari orang-orang percaya. Semua orang percaya bertanggung jawab untuk menyebarkan Injil Kristus dan membelanya dengan kelakuan dan perkataan mereka. Penginjilan dan apologetika keduanya berasumsi bahwa ada kerelaan dari orang tidak percaya untuk mendengar dan mendiskusikan otoritas Kristus akan kehidupan- Nya. Baik penginjil maupun pembela iman jangan sampai melemparkan mutiara yang berharga (kebenaran) ke hadapan mereka yang tidak lain hanya ingin menghina/mengejek Kristus (lihat Mat 7:6). Namun perlu diingat, bahwa baik dalam penginjilan maupun apologetika, orang Kristen berhubungan dengan mati dan hidupnya seseorang.
Kebanyakan orang berpikir bahwa apologetika hanya merupakan permainan intelektual di mana tidak ada sesuatupun yang dikorbankan atau dirugikan, selain daripada menang atau kalah dalam suatu argumentasi. Namun seperti apa yang telah dikatakan sebelumnya, sama halnya dengan penginjilan dalam apologetika kita juga menawarkan kepada orang tidak percaya, suatu pemilihan antara keselamatan atau hukuman Allah. Dan sama halnya dengan penginjilan alkitabiah, apologetika alkitabiah pun tidak dapat menjamin pertobatan orang berdosa. Segala usaha kita dan argumentasi kita yang terbaik tidak akan memenangkan orang tidak percaya, tanpa ia dijamah oleh anugerah Allah sehingga ia dimungkinkan untuk rela dan bersedia percaya. Belajar mengenai apologetika tidak akan membuat seorang pun secara otomatis menjadi pemenang jiwa, hanya anugerah Allah yang dapat membuat Injil efektif.
Hubungan yang erat antara penginjilan dan apologetika dapat kita lihat dalam Firman Tuhan. Di dalam Kis 26:2, Paulus menyatakan pembelaannya di hadapan Raja Agripa. Pada waktu itu Paulus mengajukan Injil Kristus sebagai bagian inti kalau tidak dapat dikatakan sebagai klimaks dari pembelaannya:
bahwa Mesias harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang pertama yang akan bangkit dari antara orang mati, dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada bangsa-bangsa lain (Kis 26:23).
Di bagian lain Paulus menulis kepada Timotius mengenai pembelaannya yang pertama akan kekristenan, di mana dia menyebutkan bahwa ia berharap dalam pembelaannya "
proklamasi akan secara sepenuhnya dicapai, dan kiranya semua orang tidak percaya dapat mendengar" (2Ti 4:17). Dengan kata lain, apologetika dari Paulus akanlah lengkap apabila itu memenuhi kebutuhan dari proklamasi Injil kepada orang tidak percaya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, pembelaan iman harus dihubungkan dengan deklarasi dari Kabar Baik bahwa keselamatan dari dosa dan kematian telah datang melalui kematian dan kebangkitan Yesus, Anak Allah.
Apabila persamaan yang dimiliki oleh apologetika dan penginjilan selalu kita ingat, maka konsep umum yang salah dapat dihindari. Apologetika bukanlah merupakan suatu usaha untuk mengkonfrontasi pikiran orang tidak percaya belaka dan mengabaikan kehendak dan emosi untuk penginjilan. Pada saat kita membela iman dengan benar kita tidak hanya berargumentasi untuk kekristenan dalam mempersiapkan untuk tahap selanjutnya di mana kita akan menantang orang tidak percaya untuk berbalik kepada Kristus untuk keselamatan. Melainkan, apologetika mengkonfrontasi keseluruhan pribadi dari orang tidak percaya dengan tuntutan Allah dalam Kristus. Membela Injil tidak hanya merupakan suatu pendahuluan untuk menawarkan Injil, tapi mengandung deklarasi dari Injil.
Bersamaan dengan kepentingan untuk memberikan perhatian akan hubungan apologetika dengan penginjilan kita juga perlu untuk membuat pemisahan di antara kedua hal ini. Kalau kita tidak melakukannya, maka akan mengakibatkan dua macam kecenderungan. Pada satu pihak, orang percaya akan cenderung untuk meninggalkan segala usaha untuk membela iman dan menggantikannya dengan hanya berkhotbah mengenai iman. Apabila apologetika dan penginjilan adalah sama, orang Kristen mungkin akan menolak untuk menjawab pertanyaan dari orang tidak percaya dan mengatakan: "Kamu harus percaya akan apa yang saya katakan karena kamu harus percaya!" Pemikiran di atas berbeda jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Kristus dan para murid-Nya. Mereka menanggapi sanggahan dari para lawan mereka dengan sangat serius.
Pada pihak lain, gagal untuk memisahkan apologetika dan penginjilan akan mengakibatkan orang Kristen berpikir bahwa ia harus selalu memberikan penjelasan yang panjang lebar sebelum dapat meyakinkan orang tidak percaya untuk percaya kepada Kristus. Apabila orang tidak percaya mendekati orang Kristen yang semacam itu dan mengatakan bahwa ia mau percaya, orang Kristen itu akan menjawab, "Tunggu dulu! Saudara tidak dapat betul-betul percaya sampai saya dapat menjawab sanggahan yang biasanya diajukan mengenai Kristus oleh yang lain." Sedangkan Paulus, dalam menanggapi hal yang sama, hanya menjawab. "
Percaya dalam Tuhan Yesus, dan kamu akan diselamatkan" (Kis 16:31).
Menyamakan secara total antara apologetika dengan penginjilan sering kali akan memimpin kepada praktek dan metode yang tidak alkitabiah. Oleh karena itu, perhatian harus diberikan untuk membedakan satu dengan yang lainnya.
Adalah menolong untuk melihat perbedaan di antara apologetika dengan penginjilan dalam hal tujuan. Penginjilan lebih dimaksudkan kepada proklamasi dari penghakiman yang akan datang dan kabar baik dari keselamatan dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Orang tidak percaya diberitahukan dengan istilah yang pasti:
Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya (Yoh 3:36).
Sedangkan apologetika lebih memperhatikan atau bertujuan untuk membenarkan klaim ini. Kita membuat pembelaan "
kepada setiap orang yang bertanya kepada kita untuk memberikan jawaban akan pengharapan yang ada di dalam kita" (1Pe 3:15). Dalam pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa penginjilan lebih berhubungan dengan apa yang harus kita percaya dan apologetika lebih berhubungan dengan mengapa kita harus percaya. Tentu saja kedua bidang ini banyak menaruh perhatian yang sama, namun dapat dikatakan bahwa apologetika merupakan kelanjutan dari penginjilan, oleh karena apologetika berusaha untuk mempertahankan dan meyakinkan orang tidak percaya akan berita penghakiman dan pengharapan yang telah disajikan dalam Injil.
Dengan dasar ini maka kita dapat menunjukkan dengan lebih jelas bagaimana kita harus memulai dan mengakhiri pembelaan iman Kristen. Seperti yang telah dikatakan dalam 1Pe 3:15, kita diberitahukan bahwa persiapan kita untuk berapologetika harus dipraktekkan pada saat kita diminta untuk menjawab mengapa orang Kristen mempunyai pengharapan. Dalam percakapan biasa dengan orang tidak percaya kesempatan-kesempatan untuk berapologetika mungkin timbul sebagai sebuah hasil dari diskusi akan suatu hal tertentu atau suatu bahan perdebatan.
Pada saat orang Kristen memberikan pandangannya dalam hal ini, ia mempunyai kesempatan untuk memperlihatkan pendapatnya dari sudut iman Kristennya dan pada saat yang sama menyatakan akan kesetiaannya pada kebergantungan yang mutlak kepada Kristus. Dan pembelaannya akan diakhiri dengan sebuah tantangan bagi orang tidak percaya untuk menyerahkan diri kepada Injil Kristus.
Misalnya orang percaya akan mengekspresikan pendapatnya mengenai perang, hukuman mati, atau isu-isu lainnya. Apapun tanggapan yang akan diberikan, apabila percakapan ini berlangsung cukup panjang, orang percaya akan terlibat dalam membela komitmen dia kepada Kristus dari mana pandangannya bersumber. Pada saat pembelaanya dimulai, maka pembelaannya harus berhubungan dengan Injil dan harus menuju kepada tantangan yang efektif akan kemandirian dari manusia yang berdosa dan mengajak dia untuk bertobat.
Apologetika masuk dalam pembicaraan di antara orang tidak percaya dan orang Kristen, pada saat dirasakan ada kebutuhan untuk pembelaan iman. Dan saat itu dipakai untuk melayani dan mengabarkan Injil dengan cara yang efektif dan meyakinkan akan kabar baik dari Kristus.
B. Dua Hal Pembenaran
Ams 26:4, 5 memberikan beberapa petunjuk yang menolong untuk membenarkan klaim dari Injil. Ada petunjuk praktis yang kaya dalam ayat-ayat ini. Dalam kedua ayat ini kita diberitahukan bagaimana kita harus menjawab orang yang berada dalam kebodohan. Kitab Amsal banyak membicarakan mengenai orang bodoh. Dikatakan bahwa pada dasarnya, orang bodoh merupakan orang yang mempertanyakan hikmat Allah yang dapat dipercaya, yang telah diwahyukan kepada manusia. Orang bodoh telah menolak takut kepada Allah dan semua hikmat-Nya.
Dalam hal berapologetika, orang bodoh dapat dikatakan sebagai orang tidak percaya yang meminta orang-orang Kristen untuk membela iman Kristen mereka. Kita diberitahukan, di pihak lain, jangan "
menjawab orang bodoh dengan kebodohannya" (ayat 4). Dengan kata lain, kita harus menjawab orang tidak percaya tanpa meninggalkan kebergantungan kita kepada wahyu Allah. Kita harus menjawab mereka dari sudut pandang filsafat kristiani. Di pihak lain, Amsal mengajarkan bahwa kita harus menjawab "
orang bodoh berdasarkan kebodohannya" (ayat 5).[1] Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa kita harus membela iman Kristen dengan menggunakan sudut pandang filsafat orang tidak percaya. Kita akan melihat akan dua pengertian ini dalam hubungan membenarkan klaim dari iman Kristen.
1. Argumentasi dengan Kebenaran
Argumentasi dengan kebenaran pada dasarnya adalah menjawab sanggahan dan pertanyaan-pertanyaan orang tidak percaya tentang kredibilitas klaim dari orang Kristen dari sudut pandang alkitabiah. Perhatikan alasan dari penulis Amsal yang mengatakan bahwa kita harus berargumentasi dengan kebenaran.
Janganlah menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia (Ams 26:4).
Orang tidak percaya yang bodoh tidak mempunyai pengharapan untuk terlepas dari akibat-akibat dosa dalam kehidupannya. Dia tidak dapat menemukan Allah dengan filsafatnya, bahkan dia tidak dapat mengetahui mengenai dirinya sendiri atau dunia dengan benar. Apabila orang Kristen gagal untuk mengenali kepentingan dari argumentasi dengan kebenaran, ia pula akan terikat pada kesia-siaan yang sama. Terlalu sering orang Kristen berusaha untuk membenarkan kekristenan dengan menyangkali argumentasi berdasarkan kebenaran dalam metode apologetika yang mereka pakai, sehingga mereka menjadi seperti orang tidak percaya yang bodoh.
Kebingungan yang seperti itu akan dapat dihindari apabila kita memberikan tempat yang benar untuk argumentasi dengan kebenaran. Di Atena, Paulus memulai pembelaannya akan karakter yang benar dari Allah dengan argumentasi dari sudut pandang Kristen. Ia mengatakan:
Sebab ketika aku berjalan jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil- kuil buatan tangan manusia (Kis 17:23-24).
Juga dalam Kis 22, Paulus memulai pembelaannya dengan menyajikan cerita pertobatannya dari sudut pandang Kristen. Apakah kita memulai atau tidak argumentasi kita dengan argumentasi kebenaran dalam setiap situasi tidaklah penting, tetapi yang pasti sangat penting dalam berapologetika secara alkitabiah kita tidak pernah meninggalkan sudut pandang Kristen dalam setiap argumentasi kita.
Dengan argumentasi dari sudut pandang Kristen, orang Kristen akan dapat memperlihatkan bahwa komitmen kebergantungannya kepada Allah, tidak akan mengecewakan atau menyebabkan seseorang frustrasi tetapi dapat menyebabkan seseorang dapat hidup dengan bebas dari kesia-siaan yang disebabkan oleh kuasa dosa. Seperti yang dikatakan oleh Paulus:
Tetapi Paulus menjawab:
Aku tidak gila, Festus yang mulia! Aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang sehat! (Kis 26:25).
Argumentasi dengan kebenaran dapat dan akan mengambil bentuk-bentuk yang lain pada saat kita melakukan pendekatan dalam berbagai macam situasi, tetapi apapun bentuk yang diberikan, tanggapan yang diberikan harus berdasarkan wahyu Allah dalam Firman Tuhan. Dengan alasan ini maka merupakan suatu keharusan bahwa pembela iman harus belajar dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat mendalami dan mengenali Alkitab dengan baik. Seseorang tidak mungkin dapat berargumentasi dengan kebenaran apabila ia tidak mengetahui akan kebenaran. Setiap aspek dari Firman Tuhan dapat dipergunakan dalam berapologetika, dan keefektifan seorang pembela iman akan bergantung kepada seberapa jauh kemampuannya, untuk secara tepat menggunakan "Firman kebenaran" (2Ti 2:15).
Dalam Firman Tuhan terdapat kebenaran dari Roh Kudus yang akan meyakinkan orang tidak percaya akan kebutuhan mereka, akan Juru Selamat dan kecukupan kematian Kristus dan kebangkitan-Nya untuk keselamatan. Sebagai hamba yang taat kita harus tidak "menjawab orang bodoh berdasarkan kebodohannya" melainkan berdasarkan kebenaran dari Firman Tuhan.
Pada dasarnya ada tiga tahap dalam argumentasi berdasarkan kebenaran. Pertama, orang Kristen harus mengakui bahwa jawabannya berasal dari kepercayaannya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Pengakuan ini dapat disajikan dalam bentuk pernyataan yang sederhana atau dengan penjelasan yang lebih panjang lebih dari pengalaman pertobatannya. Apapun kasusnya, salah satu cara terbaik untuk menghindari kebingungan yang akan timbul, adalah dengan memulai argumentasi berdasarkan kebenaran dengan pernyataan yang jelas berdasarkan komitmen kepada Kristus.
Langkah yang kedua dari argumentasi kebenaran dapat mengambil satu atau dua bentuk. Apabila pada satu saat si pembela iman tidak mengetahui data alkitabiah yang cukup untuk memberikan tanggapan secara kristiani, ia tidak boleh putus asa. Kekristenan menyediakan suatu penjelasan bahkan untuk kebodohan kita. Kita mungkin tidak tahu oleh karena keterbatasan kita sebagai manusia. Namun secara pasti kita dapat menyatakan bahwa kalau kita ingin mendapatkan jawaban yang benar, hal itu harus dilakukan berdasarkan kebergantungan kepada wahyu Allah. Misalnya, kebanyakan orang Kristen tidak mempunyai pengetahuan tentang bukti ilmiah yang mendukung atau yang melawan evolusi. Namun, hal ini tidak akan pernah dapat membuat orang Kristen meragukan akan kepastian dari catatan Alkitab mengenai penciptaan.
Pada waktu orang Kristen tidak dimungkinkan untuk mengetahui segala sesuatu, saat itu ia mengetahui sumber dari segala sesuatu dan dapat meletakkan kepercayaan mereka kepada Pencipta langit dan bumi dan melawan kesalahan yang berasal dari ketidakpercayaan. Hal-hal yang tidak diketahui tidak akan menakutkan orang Kristen yang bergantung secara mutlak kepada pengetahuan Allah, sebab Allah mengetahui segala sesuatu tanpa terkecuali, dan wahyu-Nya dapat dipercayai secara mutlak. Oleh karena itu argumentasi berdasarkan kebenaran dapat diterapkan dalam situasi yang bagaimanapun juga. Kebenaran itu tidak akan pernah gagal, oleh karena itu harus disajikan meskipun kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup.
Di pihak lain, apabila orang percaya mengetahui jawaban atas sanggahan orang tidak percaya, maka jawabannya harus berdasarkan iman kekristenan, dan ia harus membenarkan posisi kekristenan. Pendirian dari pandangan kekristenan yang ditunjukkan dalam Alkitab dan jawaban-jawaban yang ada di sana, sedikit banyak harus dimasukkan dalam argumentasi kebenaran. Apabila dilihat dari terang Firman Tuhan, maka dunia luar dan pengalaman pribadi seorang Kristen mendukung pendirian kristiani. Dunia dan manusia keadaannya adalah seperti apa yang dinyatakan oleh Firman Tuhan, oleh karena itu orang Kristen harus melihat kebenaran ini dan menggunakan aspek-aspek dari penciptaan untuk menggambarkan dan mendukung posisi alkitabiah. Namun ini tidak berarti bahwa bukti-bukti yang ditemukan di luar Alkitab adalah alat yang netral yang dapat digunakan tanpa komitmen kepada Allah. Bukti-bukti di luar Alkitab, sebagaimana halnya bukti-bukti alkitabiah, harus dimengerti dalam konteks kristiani.
Sebagai orang percaya dalam Kristus kita diyakinkan bahwa Alkitab berbicara dengan sebenarnya berkenaan dengan dunia dan pengalaman-pengalaman pribadi orang percaya, dan hubungan antara Firman Tuhan dengan kehidupan ini dapat dilihat dari posisi kristiani, di mana kekristenan terlepas dari kesia-siaan pemikiran yang berdosa. Dengan kerangka pemikiran inilah, maka kita dapat mengerti pembelaan rasul Paulus akan kebangkitan Kristus dalam 1Ko 15:3-8.
Pada dasarnya, ada tiga tahap dari argumentasi yang dipergunakan oleh Paulus dalam ayat-ayat ini. Pertama (ayat 3-4), dia berargumentasi bahwa kematian Kristus, penguburan-Nya, dan kebangkitan-Nya adalah sesuai dengan Perjanjian Lama dan tradisi para rasul. Paulus berargumentasi bahwa, "
Dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga menurut Firman Tuhan" (1Ko 15:4). Kedua, di ayat 5-7, Paulus mengajukan argumentasi dari sejarah luar yang didukung oleh klaim-klaim dari banyak saksi mata. Dia menyatakan dengan berani bahwa Kristus "
memperlihatkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara pada satu waktu" (1Ko 15:6).
Ketiga, di ayat 8, Paulus mendukung kebenaran dari kebangkitan Kristus melalui pengalaman pribadinya di perjalanan menuju Damsyik. "
Dia menyatakan diri-Nya kepadaku juga" (1Ko 15:8). Di sini kita melihat bahwa Paulus dengan penuh keyakinan berargumentasi hanya dari sudut pandang kekristenan dan bukan dari sudut pandang netral. Lebih daripada itu, kita harus melihat bahwa Paulus tidak berargumentasi berdasarkan kemungkinan dari kebangkitan. Bukti dari Firman Tuhan membuat fakta kebangkitan Kristus merupakan kepastian bukan suatu kemungkinan. Meskipun fakta ini merupakan kebenaran yang pasti, namun kita juga harus menyadari akan fakta bahwa para rasul juga tidak ragu-ragu untuk menggunakan bukti-bukti di luar Alkitab, yang digunakan berdasarkan terang Firman Tuhan.
Sejalan dengan teladan yang diberikan oleh Paulus, maka pada dasarnya ada tiga sumber bukti-bukti yang dapat kita pergunakan dalam berargumentasi berdasarkan kebenaran. Kita dapat mendukung klaim kekristenan dengan bukti dari Firman Tuhan, dari dunia luar, dan dari pengalaman pribadi kita. Berikut ini kita akan melihat dengan lebih teliti akan setiap sumber bukti ini.
a. Bukti dari Firman Tuhan
Orang Kristen melihat Alkitab sebagai Firman Tuhan yang berotoritas ilahi dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Oleh karena itu mendukung pandangan kekristenan berdasarkan fakta-fakta di dalam Firman Tuhan merupakan dukungan yang sangat penting. Untuk memberikan bukti berdasarkan terang Firman Tuhan tidak berarti hanya sekedar mengutip suatu ayat yang "membuktikan" inti dari suatu pertanyaan. Sering kali metode yang semacam itu sebenarnya tidak membuktikan apa-apa. Pada waktu menjawab pertanyaan yang diajukan, dukungan Alkitab yang diberikan harus dicapai dengan proses menghubungkan prinsip-prinsip alkitabiah, atau apa yang disebut logika alkitabiah.
Apapun kasusnya, apabila orang Kristen telah mengerti dengan tepat dan benar isu-isu dan dukungan alkitabiah untuk suatu posisi, maka itu berarti pandangannya telah didukung dengan benar. Dalam Firman Tuhan kita dapat menemukan bagaimana Allah menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan bantahan- bantahan, cara tanggapan Allah ini sangat penting untuk membela kekristenan.
b. Bukti dari dunia luar
Apabila kita melihat dari terang Firman Tuhan, sebenarnya dunia luar menyediakan banyak fakta-fakta untuk mendukung pandangan kekristenan. Tentu saja, kita harus sangat berhati-hati pada saat menggunakan bukti- bukti semacam ini, sebab sering kali justru orang percaya akan gagal untuk mengerti dunia di sekitarnya dengan benar. Bukti-bukti dari dunia luar kadang-kadang menghasilkan atau membuktikan sesuatu lain daripada apa yang mereka pikirkan untuk dibuktikan. Misalnya, pada masa lalu orang Kristen, berdasarkan bukti-bukti yang diketahui pada waktu itu menyatakan bahwa putaran matahari mengelilingi bumi "membuktikan" bahwa bumi dan segala penghuninya merupakan pusat, di mana fakta ini sesuai dengan rencana Allah untuk alam semesta. Sekarang, ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa bumi sebenarnya yang berputar mengelilingi matahari.
Apa yang dulu secara tidak tepat dipergunakan sebagai bukti untuk kekristenan sekarang tidak lagi dapat diterima, bahkan oleh orang Kristen sendiri. Oleh karena itu, perhatian harus diberikan dalam menggunakan atau tidak menggunakan bukti-bukti dari dunia luar.
Bukti-bukti dari luar dengan kehati-hatian harus dipergunakan di mana dimungkinkan dalam membela kekristenan.
Agama Kristen memang mempengaruhi cara di mana orang percaya memandang dunia luar dan fakta ini harus diketahui dengan jelas. Orang-orang Kristen tidak mempercayai kekristenan berdasarkan pengabaian akan fakta-fakta, seperti yang disangka oleh beberapa teolog moderen. Namun kepercayaan mereka adalah berdasarkan fakta-fakta yang ditafsirkan dengan benar, bukan berdasarkan kesalahan penafsiran dari fakta-fakta oleh manusia yang berdosa. Kerangka berpikir ini mengajak dan mendorong kita untuk menggunakan ilmu pengetahuan, sejarah, dan argumentasi berdasarkan logika secara tepat untuk mendukung pandangan kekristenan.
Ada kecenderungan dari pembela iman Kristen untuk mendasarkan jatuh bangunnya kekristenan di atas bukti-bukti ini. Pandangan seperti ini meninggalkan satu-satunya cara untuk mendapatkan pengertian yang benar akan bukti-bukti, yaitu komitmen kepada Kristus dan Firman-Nya. Di pihak lain, beberapa orang percaya yang berkehendak untuk berpegang secara teguh kepada komitmen mereka berpikir bahwa bukti-bukti dari luar itu tidak ada gunanya. Cara berpikir seperti ini telah gagal untuk melihat kecukupan otoritas Firman Tuhan yang mencakup segala sesuatu, sehingga manusia dapat mendapatkan pengertian yang benar dari dunia ini. Menurut Firman Tuhan bukti-bukti luar adalah penting. Paulus sendiri sering menggunakannya. Misalnya, dia berbicara mengenai pengetahuan akan Allah di Listra dengan menunjuk kepada keteraturan dunia luar, dengan mengatakan:
namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan (Kis 14:17).
Dia juga menyatakan kepada Festus:
Raja juga tahu tentang segala perkara ini, sebab itu aku berani berbicara terus terang kepadanya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatupun dari semuanya ini yang belum didengarnya, karena perkara ini tidak terjadi di tempat yang terpencil (Kis 26:26).
Injil Yohanes meletakkan tekanan yang besar pada bukti-bukti sejarah atau tanda-tanda akan keilahian Yesus.
Yohanes mengatakan dengan terus terang:
Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid- murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yoh 20:30-31).
Apabila dipergunakan dengan benar, maka bukti-bukti dari luar merupakan bagian yang vital dari argumentasi berdasarkan kebenaran.
c. Bukti dari pengalaman pribadi
Ada satu lagi sumber dari bukti yang dapat dipergunakan oleh orang percaya dalam argumentasi berdasarkan kebenaran, yaitu bukti dari pengalaman pribadi akan iman Kristennya. Bukti-bukti dari dunia luar biasanya didapatkan berdasarkan penyelidikan umum dari satu hal ke satu hal yang lain, tetapi bukti-bukti dari pengalaman pribadi biasanya merupakan hal yang bersifat pribadi. Aspek kehidupan pribadi seperti pengalaman pertobatan dan pengalaman pertumbuhan pribadi seorang percaya dalam hubungan dengan Allah, merupakan dua dari dasar-dasar argumentasi penting lainnya, yang dapat digunakan. Sering kali Paulus membela iman dengan menceritakan pengalamannya dalam perjalanan ke Damsyik (Kis 26:12-20). Dia menyajikan pertemuannya secara pribadi dengan Kristus sebagai suatu fakta yang harus diterima sebagai kebenaran berdasarkan pengakuannya. Tentu saja pertobatan yang sejati harus terlihat dalam perubahan hidup dari seorang percaya, tetapi pertobatan dan kelanjutan hubungan yang intim dengan Roh Kudus merupakan sumber-sumber dari bukti yang tidak dapat disangkali. Di mana pengalaman pribadinya dengan Tuhan akan mempengaruhi orang Kristen dalam memandang segala sesuatu.
Setelah penyajian dari bukti-bukti kita di atas, maka sekarang kita akan memasuki tahap ketiga dari argumentasi berdasarkan kebenaran. Harus disadari bahwa dalam kebanyakan kasus, orang tidak percaya tidak akan terpuaskan dengan pembenaran yang diberikan berdasarkan tahap ke dua dari argumentasi berdasarkan kebenaran. Dalam kasus yang demikian, maka argumentasi berdasarkan kebenaran harus berjalan setahap lebih jauh.
Pada waktu pembelaan alkitabiah telah diberikan adalah penting untuk memperlihatkan fakta bahwa alasan orang tidak percaya menolak bukti orang Kristen, adalah disebabkan oleh komitmen mereka kepada kemandirian. Setiap pemikiran yang bertolak belakang dengan kekristenan dihasilkan oleh orang tidak percaya yang menghendaki untuk berdiri sendiri dalam pemikiran mereka, dan menjadikan pemikiran mereka yang mandiri menjadi hakim dalam menentukan kebenaran.
Kita hidup di jaman di mana banyak orang tidak percaya berpikir bahwa mereka dalam posisi netral dan objektif. Oleh karena itu, kita harus menampilkan dasar komitmen mereka. Ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan secara beruntun. Orang Kristen harus menyatakan bahwa pada dasarnya orang tidak percaya telah mendedikasikan dirinya kepada kemandirian. Buatlah orang tidak percaya untuk menyadari kemandirian mereka dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: "Mengapa kamu mempercayai hal itu?" atau "Bagaimana kamu mengetahui hal itu?" teras ajukan pertanyaan-pertanyaan mereka sampai mereka menyadari akan kemandirian mereka.
Orang tidak percaya berpikir dan percaya seperti itu oleh karena mereka telah menentukan hal itu benar secara mandiri. Misalnya, orang tidak percaya dapat berargumentasi bahwa Allah orang Kristen itu tidak ada. Apabila kita bertanya "Mengapa?" dia mungkin akan berkata, "Sebab kamu telah memberikan kepada saya bukti-bukti yang tidak meyakinkan." Apabila kita bertanya lagi mengapa dia berpikir bahwa bukti-bukti itu tidak meyakinkan, dia akan mengakui bahwa bukti-bukti itu tidak cocok dengan kriteria kebenarannya yang berdasarkan kemandirian. Apabila kita pertanyakan mengapa dia menerima kriteria kebenarannya sebagai tolok ukur, maka dia akan memperlihatkan bahwa itu adalah hasil dari keputusannya sendiri untuk melihat segala sesuatu tanpa takluk kepada Alkitab dan Allah.
Dengan menyatakan fakta komitmen kepada kemandirian dari orang tidak percaya, orang Kristen menyatakan kebenaran bahwa semua manusia telah dipilih untuk berpihak kepada Kristus atau melawan Kristus. Garis pemisah ini sangat jelas dan pintu terbuka untuk mendemonstrasikan tidak adanya pengharapan dari cara berpikir orang tidak percaya.
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa argumentasi berdasarkan kebenaran adalah menjawab sanggahan orang tidak percaya dengan tanggapan-tanggapan kristiani. Pada dasarnya hal itu dilakukan dalam, tiga tahap. Pertama, orang Kristen harus mengakui bahwa semua pendapatnya adalah berdasarkan iman kepercayaannya kepada Kristus dan di dalam Kristus. Kedua, dia harus memberikan bukti kristiani atau penjelasan mengenai ketidaktahuannya dalam hal-hal tertentu terlebih dahulu. Ketiga, harus diperlihatkan alasan mengapa orang tidak percaya tidak menerima pandangan kristiani, yaitu oleh karena kondisi mereka yang berdosa dan kesetiaan mereka kepada kemandirian mereka. Apabila kita selalu mengingat ketiga tahap ini, maka tidaklah sukar bagi kita untuk membangun suatu argumentasi berdasarkan kebenaran- kebenaran untuk membela kekristenan.
2. Argumentasi Berdasarkan Kebodohan
Ams 26:4, 5 juga mengatakan bahwa kita harus berargumentasi berdasarkan kebodohan. Kita harus menjawab orang tidak percaya berdasarkan sudut pandang dan pandangan mereka sendiri. Tujuan dari argumentasi semacam itu bukan untuk mendirikan pandangan kristiani secara positif melainkan untuk mendemonstrasikan kebodohan dari pemikiran orang berdosa.
Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak (Ams 26:5).
Pembela iman Kristen berusaha menggunakan bukti-bukti dan argumentasi- argumentasi yang dapat dimiliki oleh sistem pemikiran orang tidak percaya, dengan tujuan mematahkan keyakinan orang tidak percaya kepada dirinya sendiri. Orang tidak percaya tidak mempunyai hikmat, kemandiriannya hanyalah merupakan suatu tipuan. Kekecewaan orang tidak percaya pada cara berpikir mereka akan muncul, pada saat orang Kristen secara efektif memperlihatkan kepada dia, bahwa penolakannya kepada Kristus adalah berdasarkan pada kontradiksi pada dirinya sendiri, dan inilah yang membuat mereka frustrasi, cara berpikir seperti ini, tidak akan memimpin mereka kepada pengertian yang benar akan dirinya sendiri, dunia, ataupun Allah.
Filsafat non Kristen ada di bawah penghakiman Allah, filsafat ini tidak dapat menolong tetapi akan menghancurkan dirinya sendiri. Yeremia mengomentari tentang akibat yang akan terjadi dari pemikiran yang berdosa sebagai berikut:
Kejahatannya akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau! Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan Tuhan, Allahmu; dan tidak gemetar terhadap Aku, demikianlah firman Tuhan Allah semesta alam (Yer 2:19).
Mereka yang meninggalkan Allah dikoreksi dan dibuktikan oleh usaha mereka sendiri. Pemazmur juga berdoa sebagai berikut:
Biarlah mereka menanggung kesalahan mereka, ya Allah, biarlah mereka jatuh karena rancangannya sendiri; buanglah mereka karena banyaknya pelanggaran mereka sebab mereka memberontak terhadap Engkau (Maz 5:10).
Lebih jauh kita dapat baca:
Bangsa-bangsa terbenam dalam pelubang yang dibuatnya, kakinya tertangkap dalam jaring yang dipasangnya sendiri. Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya, Ia menjalankan penghakiman; orang fasik terjerat dalam perbuatan tangannya sendiri (Maz 9:15, 16).
Semua rencana yang jahat, kelicikan, dan usaha-usaha orang tidak percaya berbalik melawan diri mereka sendiri pada saat penghakiman Allah dinyatakan kepada mereka. Kesia-siaan yang diwariskan ini diperlihatkan kepada orang tidak percaya oleh orang Kristen pada saat ketidakstabilan di dalam sistem cara berpikir dari orang tidak percaya dipertunjukkan. Dalam hal ini seorang pembela iman menjadi utusan dari penghakiman yang menyatakan kepada orang tidak percaya, bahwa penolakan mereka kepada Kristus akan menghasilkan tiada pengharapan dan kesia-siaan.
Sebagaimana halnya dengan argumentasi berdasarkan kebenaran maka argumentasi berdasarkan kebodohan juga memiliki tiga tahap dasar. Setelah kita memperlihatkan fakta bahwa orang tidak percaya telah mendedikasikan diri kepada kemandirian terlepas dari Allah, kesia-siaan dari posisinya dapat diperlihatkan dengan mempertanyakan keabsahan dari kemandiriannya. Apabila orang tidak percaya berusaha untuk membenarkannya atau mencoba untuk berargumentasi bahwa kemandiriannya tidak membutuhkan pembenaran, tidaklah sukar untuk memperlihatkan bahwa tanggapannya itu sendiri adalah pengaruh dari komitmen kepada kemandirian. Tanyakanlah kepadanya mengapa ia berpikiran bahwa tanggapannya memiliki keabsahan. Dari jawabannya kita dapat melihat bahwa dia hanya memberikan gambaran bagaimana kesetiaannya kepada kemandirian telah menyebar ke semua aspek dalam dirinya. Apabila orang tidak percaya berkata bahwa komitmennya kepada kemandirian tidak dapat dibenarkan, maka orang Kristen dapat bertanya kepada dia mengapa dia tetap berpegang secara setia kepada hal itu.
Apapun kasusnya, tidaklah sukar untuk memperlihatkan kepada orang tidak percaya bahwa ia telah mendedikasikan diri mereka kepada kemandirian secara buta, dan mereka telah menyangkal kekristenan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan. Lebih daripada itu, orang tidak percaya sendiri menghadapi keputusasaan, sebab mereka berharap untuk berpegang kepada posisi yang masuk akal dalam melawan kekristenan, tetapi pada saat yang sama mereka terperangkap dalam lingkaran yang menghancurkan dirinya sendiri. Lingkaran ini hanya dapat diputuskan dengan percaya kepada Injil.
Orang tidak percaya memang berargumentasi secara melingkar, demikian juga halnya dengan orang Kristen. Tahap kedua dan ketiga dalam argumentasi berdasarkan kebodohan berusaha untuk membuat nyata bahwa sirkulasi pemikiran orang Kristen dan sirkulasi pemikiran orang tidak percaya adalah sama sekali berbeda. Sirkulasi pemikiran Kristen menyediakan jawaban akan tujuan manusia di dunia, sedangkan sirkulasi pemikiran orang tidak percaya melemparkan manusia ke dalam lingkaran ketidakkonsistenan dan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kesia-siaan dari ketidakpercayaan tidak hanya terlihat pada komitmen kepada kemandirian, tetapi juga terlihat dalam sanggahan-sanggahan tertentu yang diajukan oleh orang tidak percaya untuk menentang kekristenan.
Tahap yang kedua dalam argumentasi berdasarkan kebodohan dilakukan bergantung kepada macam dari sanggahan yang orang tidak percaya ajukan. Di satu pihak, apabila orang tidak percaya membuat klaim akan kepastian yang mutlak, maka kita harus memperlihatkan kepada dia akan ketidakpastian yang mutlak akan pernyataannya. Sedangkan di pihak lain, apabila orang tidak percaya membuat klaim akan ketidakyakinan yang mutlak, maka kita harus memperlihatkan kepada mereka akan kepastian yang mutlak dari posisi mereka. Dengan kata lain, kita harus memperlihatkan kepada orang tidak percaya bahwa pandangannya dihancurkan oleh ketidakpastian mereka yang mutlak dan kepastian mereka yang mutlak, yang harus mereka yakini pada saat yang sama. Kita akan melihat bagaimana kerangka berpikir orang tidak percaya ini diterapkan pada pandangan mereka akan Allah, dunia, dan manusia.
a. Sanggahan berkenaan dengan Allah dan Wahyu-Nya
Orang tidak percaya tidak dapat memiliki kepastian akan pandangannya mengenai Allah dan Wahyu-Nya, karena dia tidak mengetahui dan tidak dapat mengetahui secara mendalam akan semua ciptaan, demikian juga Allah sendiri. Ketidaktahuannya ini memaksa dia untuk tidak pasti secara mutlak. Orang tidak percaya dapat tidak pasti juga, sebab untuk tidak pasti berarti dia harus pasti tidak pasti, dan orang tidak percaya tidak dapat memiliki kepastian semacam itu. Kebanyakan orang tidak percaya dapat memperlihatkan realitas dari dilema ini dengan menunjukkan ketidaktahuan mereka dalam hal-hal agamawi. Oleh karena itu mereka tidak dapat berbicara secara konsisten mengenai Allah maupun Wahyu-Nya.
b. Sanggahan berkenaan dengan dunia
Sering sekali orang tidak percaya membantah kekristenan dengan dasar pertimbangan yang berkenaan dengan dunia luar. Namun demikian orang tidak percaya tidak dapat berpegang kepada suatu posisi yang pasti karena dia tidak dapat memperhitungkan semua faktor-faktor dan kemungkinan- kemungkinan peristiwa yang menyebabkan sesuatu terjadi dalam alam semesta ini. Dan dia juga tidak dapat tidak pasti secara pasti pada posisinya mengenai karakter dari dunia. Akhirnya orang tidak percaya hanya jatuh ke dalam dilema ini. Sebab selalu ada ide baru dan penemuan baru mengenai dunia ini, di mana membuat orang tidak percaya berada pada posisi yang pasti dan tidak pasti, pada saat yang sama. Sesungguhnya tidaklah mungkin bagi mereka untuk terlepas dari problem ini.
c. Sanggahan berkenaan dengan manusia
Sama halnya dengan posisi orang tidak percaya akan Allah dan dunia, maka pandangan mereka akan manusia pun adalah berdasarkan kepastian yang tidak pasti dan berdasarkan ketidakpastian yang pasti. Akibatnya, pada saat orang tidak percaya membantah kekristenan atas dasar pandangannya akan manusia, pada saat yang sama dia akan memperlihatkan ketidakmampuannya untuk berpegang kepada posisinya secara konsisten.
Tahap kedua dari argumentasi berdasarkan kebodohan dapat diringkaskan sebagai berikut. Orang Kristen dapat berusaha untuk memperlihatkan ketidakmampuan orang tidak percaya untuk memiliki kepastian dengan menunjukkan bahwa orang tidak percaya belum menyelidiki semua fakta-fakta dalam alam semesta ini. Dia dapat melakukan ini dengan cara menunjukkan beberapa fakta atau bukti yang dapat diterima oleh orang tidak percaya, di mana nantinya akan mendukung pandangan kristiani. Sangatlah penting bagi orang Kristen untuk menunjukkan bahwa orang tidak percaya tidak dapat menyelidiki semua fakta-fakta itu, sebab keterbatasannya membuat penyelidikan secara meyeluruh menjadi tidak mungkin.
Keterbatasan fakta-fakta memungkinkan orang percaya untuk salah dalam mengambil kesimpulan, sehingga orang tidak percaya tidak dapat memastikan secara mutlak bahwa fakta itu benar-benar melawan posisi kekristenan. Apabila dia berharap untuk berpegang kepada posisinya, dia berbuat itu secara buta, dengan tujuan memilih untuk melawan Kristus, dan bukan berdasarkan fakta.
Posisi akan ketidakpastian secara total dapat diringkaskan dengan mengatakan bahwa tidak cukup fakta untuk membuat seseorang meyakini sesuatu. "Kamu terlalu dogmatis, kita tidak dapat mengatakan secara pasti akan semua itu," kata orang tidak percaya kepada orang Kristen. Mungkin sanggahan ini kelihatannya cukup beralasan. Namun, ini harus dilihat bahwa pada saat orang tidak percaya berkata tidak ada cukup fakta, dia berada pada posisi yang sama dengan orang tidak percaya lain, yang berkata bahwa fakta-fakta itu melawan kekristenan. Satu jawaban yang paling baik untuk menanggapi bantahan orang tidak percaya, adalah dengan mengatakan, "Kamu belum melihat cukup fakta untuk mengetahui secara pasti bahwa kami harus tidak pasti." Apabila orang tidak percaya menjawab bahwa ia tidak pasti akan sanggahannya juga, maka pernyataannya bukanlah merupakan sanggahan sama sekali. Melainkan hanya merupakan pernyataan akan keraguannya secara pribadi, dan bukan merupakan keharusan untuk ragu.
Berdasarkan hal ini kita dapat melihat bahwa orang tidak percaya tidak dapat mengatakan bahwa suatu fakta melawan kekristenan, demikian pula orang tidak percaya juga tidak dapat melawan kekristenan berdasarkan tidak cukupnya fakta, oleh karena dia tidak dapat mempunyai keyakinan yang mutlak akan kedua pernyataannya itu. Orang yang belum diselamatkan terperangkap dalam dilema yang tiada berujung ini. Dia tidak dapat pasti atau tidak pasti secara konsisten. Dia terperangkap oleh pandangannya sendiri atau taktiknya sendiri.
Tahap ketiga dari argumentasi berdasarkan kebodohan menyatakan mengapa orang tidak percaya menghadapi kesia-siaan. Itu disebabkan oleh komitmennya kepada kemandirian, dan penyangkalannya akan perbedaan Pencipta dengan ciptaan, sehingga ia terperangkap oleh sistemnya sendiri. Dalam penutup dari argumentasi berdasarkan kebodohan, orang Kristen harus menantang komitmen orang tidak percaya akan kemandiriannya. Perlawanan melawan Allah harus dikonfrontasikan dengan kebutuhannya untuk bertobat dan iman kepada Kristus. Oleh karena itu, dalam banyak kasus apologetika alkitabiah dimulai dengan Injil, dan seharusnya diakhiri dengan Injil pula.
Hal-hal dalam pelajaran ini adalah sangat penting walaupun hanya disajikan dalam bentuk garis besar. Contoh-contoh akan diberikan dalam pelajaran- pelajaran yang berikut. Perhatian harus diberikan dalam hal-hal ini oleh karena banyak pertimbangan-pertimbangan yang mana mungkin dalam kasus tertentu diperlukan untuk memperpendek atau merubah garis besar yang diberikan di sini. Namun demikian, semua kasus yang telah dibicarakan dalam pelajaran ini harus dikuasai oleh orang percaya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya. Pengetahuan dari dasar struktur yang disarankan di sini akan sering terbukti tidak dapat dikesampingkan oleh pembela iman Kristen.
Pertanyaan-pertanyaan Sebagai Bahan Evaluasi:
1.Dalam pengertian bagaimana apologetika dan penginjilan adalah serupa?
2.Mengapa kita dapat menyebut apologetika sebagai "pengembangan dari penginjilan?"
3.Kapan kita harus memulai membela iman kita?
4.Apakah dua bentuk penyajian yang dijelaskan dalam Ams 26:4, 5?
5.Apakah tiga tahap dasar dalam argumentasi berdasarkan kebenaran?
6.Apakah tiga tahap dasar dalam argumentasi berdasarkan kebodohan?
7.Bagaimana seharusnya sebuah pembelaan berdasarkan alkitabiah dimulai dan diakhiri?
Catatan Kaki:
[1] Terjemahan NASB dalam ayat ini telah gagal untuk menunjukkan arti dari semula. Saya mengikuti terjemahan RSV.
Sumber Artikel :
Bab 10, Buku Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus, Penerbit Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang