Minggu, 31 Oktober 2010

Mengenal Yesus Kristus

Oleh J.C. Ryle


Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?"
(Mar 4:37-40)


Saya ingin agar orang-orang juga orang-orang Kristen mau mempelajari keempat Injil lebih daripada yang mereka biasa lakukan. Saya mengatakan ini sebab ini adalah satu-satunya cara agar mereka bisa mengenal Yesus. Memang baik untuk tahu tentang iman dan kasih karunia, pembenaran dan pengudusan. Tetapi lebih baik lagi bila kita mengenal Tuhan kita, karena Dia menghantar kita pada kekudusan. Dan adakah cara yang lebih baik untuk mengenal Dia selain mempelajari keempat tulisan tentang kehidupanNya seperti yang telah kita temukan didalam keempat kitab Injil ?

Kristus adalah batu karang rohani yang diatasNya kita harus membangun kehidupan kita. Kristus adalah pokok anggur yang sejati yang dariNya kita harus mendapatkan makanan rohani. Kristus adalah kakak sulung kita yang dariNya kita bisa memperoleh pengertian pada saat kita berada dalam kepicikan. Kristus adalah pengantara kita yang mempersembahkan doa-doa kita dihadapan Allah. Kristus adalah Raja dan didalam KerajaanNya orang-orang percaya akan tinggal untuk selama-lamanya. Maka marilah kita simak apa yang bisa kita mengerti tentang diriNya dari kisah diawal bab ini.


1.Kita mengerti bawa mengikut Kristus tidak akan dengan sendirinya melindungi kita dari masalah hidup sehari-hari.

Para murid merasa sangat gelisah. Meskipun mereka adalah sekelompok kecil murid pilihanNya – saat imam-imam, ahli-ahli Taurat, dan orang-orang Farisi tidak mau percaya kepadaNya – Yesus mengijinkan mereka mengalami ketakutan. Barangkali mereka berpikir bahwa dengan melayani Kristus mereka akan terhindar dari kesukaran-kesukaran yang biasa mewarnai kehidupan ini. Jika Yesus dapat menyembuhkan orang sakit, memberik makan orang banyak dengan beberapa ketul roti, membangkitkan orang mati dan mengusir setan-setan, tentunya Ia tidak akan pernah memperbolehkan murid-muridNya menderita. Tetapi jika mereka berpikir sedemikian, mereka keliru. Melayani Kristus tidak melindungi orang percaya dari masalah-masalah kehidupan ini.

Ada baiknya kita mengerti hal ini dengan jelas. Saya mendapat hak istimewa untuk menjadi pendeta Kristen yang dapat berbicara tentang karunia hidup kekal yang diberikan kepada siapapun, pria, wanita atau anak-anak yang mau menerimanya. Tetapi saya tidak berani menawarkan kepada mereka kemakmuran duniawi sebagai bagian dari berita Injil ; saya tidak berani berbicara tentang umur panjang, bebas dari kepedihan, atau kekayaan yang bertambah. Saya tahu bahwa banyak orang suka mempunyai Kristus dan sekaligus kesehatan yang prima, Kristus dan uang yang banyak, Kristus dan kebebasan dari segala kekhawatiran. Jika anda berpikir seperti itu, anda sangat keliru. Saya akan menunjukkan kepada anda mengapa saya berkata begitu.

Bagaimana anda bisa tahu bahwa anda seorang Kristen sejati jika mengikut Kristus berarti anda tidak pernah mengalami kesukaran apa pun? Bagaimana anda bisa tahu apakah anda mengikut Kristus demi kepentinganNya atau kepentingan anda sendiri jika mengikut Dia mengakibatkan anda memiliki kesehatan dan kekayaan ? Bagaimana karya besar pengudusan bisa berlangsung didalam diri orang percaya jika mereka tidak pernah diuji oleh pencobaan ? Kesusahan merupakan satu-satunya api yang akan membakar habis kotoran yang melekat dihati kita ; kesusahan ialah pisau pemangkas tanaman yang memangkas kayu mati dari kehidupan kita dan membuat kita berbuah secara rohani.

Jika anda ingin menerima Kristus, terimalah Dia berdasarkan persyaratanNya sendiri ; biarkan Dia yang menentukan apa yang terbaik bagi anda. Yakinlah bahwa Ia melakukan segala sesuatau dengan baik.


2.Mari kita belajar bahwa Tuhan Yesus Kristus benar-benar manusia dan juga benar-benar Allah.

Kita membaca bahwa Yesus sedang tidur disebuah tilam. Ia sungguh lelah! Setelah berkhotbah diudara terbuka kepada sekumpulan orang banyak sepanjang hari, ia kehabisan tenaga. Kita tahu nyamannya tidur setelah tenaga diperas habis-habisan dan disini kita juga membaca tentang Dia yang sebetulnya dapat hidup dalam kemuliaan bersama Bapa, tetapi yang justrus datang kedunia untuk hidup sebagai manusia. Ia mempunyai tubuh seperti tubuh kita. Ia lahir dari seorang perempuan. Ia sering merasa lapar, haus dan capai. Sama seperti kita, Ia makan, minum dan tidur. Sama seperti kita, Ia berduka dan menangis. Ia yang menciptakan sorga, berjalan kesana kemari didunia seperti seorang yang miskin !

Saya terhibur dengan kenyataan bahwa Yesus adalah seorang manusia sempurna. Oleh karena hal ini, Ia bukan hanya seorang Imam Besar bagi saya, melainkan juga seorang Imam Besar yang tahu bagaimana perasaan saya; bukan hanya seorang Juruselamat yang berkuasa penuh, melainkan juga seorang Juruselamat yang bersimpati ; bukan hanya Anak Allah yang perkasa tetapi juga Anak Manusia yang mengerti kesengsaraan kita sebagai manusia.

Saya melihat bukti yang sangat luar biasa tentang kasih dan hikmat Ilahi dalam penggabungan dua natur dalam diri Kristus. KasihNya luar biasa karena sebagai Juruselamat kita, Dia rela menanggung kelemahan dan penghinaan demi kepentingan kita, padahal kita adalah pemberontak-pemberontak. HikmatNya luar biasa karena melalui kemanusiaanNya Ia menempatkan diriNya menjadi sahabat sejati kita. Ia bisa mengerti semua kelemahan dan kekurangan saya, tetapi tetap mau melakukan apa yang perlu untuk keselamatan saya. Seandainya Ia hanya Allah, saya mungkin hanya mempercayaiNya, tetapi saya tidak pernah bisa mendekat kepadaNya tanpa rasa takut. Seandainya Ia hanya manusia, saya bisa mengasihiNya, tetapi saya tidak pernah yakin Ia dapat melakukan segala sesuatu yang perlu untuk keselamatan saya. Simpati yang terdalam dan kemahakuasaan bertemu bersama-sama didalam Yesus Kristus!. Tentunya semua orang percaya mempunyai semua alasan untuk mempercayaiNya.

a.Apakah anda miskin dan berkekurangan? Demikian pula dengan Yesus. Ia berkhotbah dari perahu pinjaman, masuk ke Yerusalem dengan menunggangi keledai pinjaman, dan dikuburkan dalam kuburan pinjaman!. Serigala mempunyai lubang, burung mempunyai sarang tetapi, Ia berkata, Ia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepalaNya.

b.Apakah anda sendirian didunia ? Demikian pula dengan Yesus. Sedikit orang yang mengikut Dia ialah para nelayan, pemungut cukai yang dicemooh, dan orang-orang berdosa. Dan bahkan sahabat-sahabatNya ini meninggalkanNya disaat-saat akhir hidupNya.

c.Apakah anda disalah mengerti, dibicarakan tidak sesuai fakta, dan dianiaya? Demikian pula dengan Yesus. Ia dituduh bersahabat dengan sampah masyarakat dan orang-orang berwatak hina. Musus-musuhNya berkata Ia makan dan minum dengan terlalu banyak. Mereka berkata bahwa Ia memiliki roh jahat dan gila. Ia dituduh secara keliru dan dihukum mati secara tidak adil.

d.Apakah anda dicobai dengan berat ? Demikian pula dengan Yesus. Anda bisa membaca kisah tentang pencobaanNya didalam Injil Matius, Markus dan Lukas. Apakah anda  merasa bahwa iblis menimbulkan pikiran-pikiran jahat dibenak anda? Demikian juga halnya dengan (hal yang dialami) Yesus.

e.Apakah anda pernah merasakan penderitaan konflik batin yang sangat mendalam? Apakah anda pernah merasa bahwa Allah telah meninggalkan anda? Demikian pula dengan Yesus. Siapa yang bisa mengungkapkan kedalaman penderitaan yang Ia alami di Taman Getsemani dan diatas salib?

Mustahil menemukan seorang Juruselamat yang lebih bisa memenuhi keperluan dan kebutuhan hati kita selain Tuhan kita Yesus Kristus. Jangan dengarkan pernyataan bahwa Maria, ibu Yesus dan orang-orang kudus lainnya lebih bersimpati daripada Yesus Kristus. Pernyataan itu muncul karena ketidaktahuan tentang apa yang diajarkan Alkitab dan natur sejati Tuhan Yesus Kristus. Barangsiapa mendapat penghiburan dalam Allah-Manusia Yesus Kristus, tidak membutuhkan penghiburan dari orang-orang kudus, para malaikat atau bahkan dari perawan Maria!.


3.Mari kita memahami bahwa seringkali kita memliki iman yang lemah, bahkan dalam diri orang Kristen sejati.

Bukti apalagi yang kita butuhkan untuk mendukung kenyataan ini selain perilaku para murid ditengah taufan itu? Dalam ketakutan mereka membangunkan Yesus sambil berseru, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”. Mereka tidak sabar – mereka tidak bisa menunggu sampai Ia terbangun ; mereka tidak percaya – bagaimana mungkin mereka bisa binasa denga Tuhan Yesus didalam perahu? Mereka curiga – “Engkau tidak peduli?”, seru mereka!

Seharusnya mereka tidak usah takut. Bukankah mereka sudah melihat banyak contoh tentang kasih dan kebaikanNya kepada mereka? Tetapi ketakutan sering membuat kita mempunyai ingatan yang buruk! Saya yakin bahwa banyak orang Kristen pernah berada dalam keadaan seperti ini. Mereka mengira mempercayai Kristus sepenuhnya. Tetapi ketika pencobaan yang tidak terduga tiba-tiba muncul,  maka ketakutan, keraguan dan tertekan melanda mereka seperti air bah.

Sebenarnya tidak ada orang Kristen yang sempurna selama mereka masih berada didunia ini. Abraham adalah Bapa orang percaya – namun karena takut kepada orang-orang Mesir ia memaksa istrinya untuk mengatakan bahwa ia adalah saudara perempuannya. Daud mempunya cukup iman untuk menghadapai si raksasa Goliat; ia mempunyai iman untuk percaya bahwa suatu saat ia akan menjadi raja Israel yang diurapi Allah meskipun Saul memburunya dan mengancam untuk membunuhnya. Namun Daud yang sama ini pernah begitu dikuasai ketakutan sehingga ia berseru : “Pada suatu hari aku akan binasa oleh tangan Saul” (I Sam 27:1).

Apakah orang percaya dapat merasakan kasih dan keyakinan sedemikian rupa dalam Kristus sehingga tidak dapat membayangkan ia bisa disusahkan oleh apa pun juga? Itu baik, saya senang mendengarnya! Tetapi saya bertanya, “Pernahkan iman anda diuji dengan ujian yang sesungguhnya?” Tidak mudah untuk mengetahui kelemahan anda sendiri tanpa diuji. Tuhan harus meninggalkan Hizkia untuk menunjukkan kepadanya kelemahan-kelemahannya (2 Taw 32:31). Berbahagialah orang-orang yang dalam hal ini “dikenakan jubah kerendahan.”

Saya memberi peringatan ini karena saya rindu agar orang-orang Kristen muda mengerti apa yang bakal mereka temukan dalam diri mereka sendiri. Saya ingin mencegah mereka agar tidak cemas bila berhadapan dengan kelemahan didalam diri mereka. Orang-orang percaya muda harus menyadari bahwa bisa saja mereka mempunyai iman sejati dan kasih karunia namun kadang-kadang tetap merasa takut dan ragu-ragu. Saya ingin agar mereka melihat dengan sungguh-sungguh pada Petrus, Yakobus dan Yohanes dan tahu benar bahwa mereka semua adalah murid-murid sejati – namun tidak terlalu rohani sehingga mereka tidak pernah takut.

Lebih dari segalanya, saya ingin agar orang-orang Kristen menyadari apa yang mungkin kadang-kadang mereka lihat dalam diri orang-orang percaya lainnya. Jangan terburu-buru menghakimi. Banyak bongkahan emas bercampur dengan pasir kwarsa dan kotoran, namun siapa yang beranggapan emas sama sekali tidak mempunyai nilai apa-apa karena semuanya itu? Para murid didalam perahu telah meninggalkan segalanya untuk mengikut Yesus; mereka percaya kepadaNya dan mengasihiNya. Seseorang bisa saja meninggalkan semuanya demi Kristus, namun pada waktu tertentu masih dapat dikuasai oleh ketakutan dan keraguan.


4.Mari kita memahami kuasa Tuhan Yesus Kristus.

Ombak menyembur masuk kedalam perahu dimana Yesus berada. Para murid sangat ketakutan. Kemudian Yesus membuat mukjizat yang begitu ajaib, yang hanya bisa dilakukan oleh Pencipta Yang Mahakuasa! Kadang-kadang anda akan merasa bahwa anda sedang dilanda hujan badai yang turun secara mendadak! Maka dari itu, mempunyai pandangan yang jelas tentang kuasa Yesus itu sungguh berguna. Biarlah semua orang percaya tahu bahwa Juruselamat kita adalah juga Yang Mahakuasa ; Penebus kita adalah juga Tuhan diatas segala tuhan dan Raja diatas segala raja. Pelajarilah kuasa Yesus !

a.Pelajarilah kuasa Yesus dalam karya ciptaanNya. “Tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan” (Yoh 1:3). Semua ciptaan, mulai dari matahari dilangit tinggi sampai pada cacing yang paling hina dibumi dibawah, adalah ciptaan Kristus. Ia member perintah dan mereka mulai ada. Bukankah itu kuasa yang besar?

b.Pelajarilah kuasa Yesus dalam karya pemeliharaanNya. Matahari, bulan dan bintang-bintang, semuanya beredar dalam sistem yang sempurna. Semua musim silih berganti muncul dalam urutan yang teratur. Kerajaan-kerajaan dunia ini muncul dan bertambah maju, mundur dan tenggelam menurut kehendakNya, yang didalamNya segala sesuatu ada (Kol 1:17)

c.Pelajarilah mukjizat-mukjizat yang dikerjakan oleh Tuhan Yesus. Ia dapat membangkitkan orang mati hanya dengan satu kata ; Ia mencelikkan orang buta, membuat orang tuli mendengar, membuat orang bisu berbicara – dan yang paling utama, membuat orang berdosa sadar dan masuk kedalam Kerajaan Allah! Baca kembali ayat-ayat yang ada pada permulaan bab ini, dan ketahuilah bahwa Yesus dapat berkata kepada hati anda apa pun yang menjadi ketakutan dan kegelisahannya, “Diam ! Tenanglah!”.

Jika anda merindukan damai sejahtera, berserulah kepada Yesus seperti yang dilakukan para murid. Jika anda berada dalam damai dengan Allah, namun hati anda berbeban berat karena kemiskinan, kesakitan, usia lanjut, atau kematian seseorang yang anda kasihi, Yesus dapat berkata kepada hati anda, “Diam ! Tenanglah!”. Milikilah pandangan yang luas tentang kuasa Kristus. Ragukanlah apapun yang lain jika memang anda harus meragukannya, tetapi jangan pernah meragukan kuasa Kristus. Satu hal yang tidak perlu diragukan lagi adalah bahwa Kristus “ sanggung juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah” (Ibrani 7:25).


5.Mari kita memahami betapa sabarnya Yesus memperlakukan orang-orang percaya dalam kelemahan-kelemahan mereka.

Tidak ada kemarahan dalam jawaban Tuhan kepada murid-muridNya yang ketakutan. “ Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”. Bukan celaan tajam, hanya dua pertanyaan sederhana yang memancarkan terang yang indah dari belas kasihan Tuhan kita. Sesungguhnya semua yang Tuhan lakukan terhadap murid-muridNya perlu dipelajari dengan seksama.

Tampaknya para murid tidak pernah benar-benar memahami ajaran Tuhan. Kata-kata yang paling sederhana dan pernyataan-pernyataan yang paling jelas tentang apa yang bakal dialami Guru mereka rupanya tidak begitu memberi pengaruh dalam pikiran mereka. Kadang-kadang mereka bertengkar diantara mereka sendiri tentang siapa yang terbesar diantara mereka ; pada kesempatan lain dua diantara mereka ingin menyuruh api turun dari langit untuk membinasakan desa yang menolak Yesus. Pada hari Ia ditangkap sebagian besar dari mereka melarikan diri, dan Petrus menyangkali Tuhannya tiga kali!

Lalu bagaimanakah reaksi Yesus terhadap perilaku semacam ini? Ia tidak memarahi mereka dengan mengatakan bahwa mereka bodoh atau menolak mereka yang dianggap sebagai pengecut. Ia senantiasa membimbing mereka dengan lembut, mengajari mereka sedikit demi sedikit sesuai dengan apa yang mereka bisa mengerti. PengajaranNya selalu baik, menghibur, dan bijaksana. Tidak ada yang lain kecuali kebaikan, kelembutan, kesabaran, dan kasih dalam hubunganNya dengan mereka. Saya berharap seluruh dunia tahu bahwa Tuhan Yesus adalah Tuhan yang penuh dengan belas kasihan. Ia memperdulikan murid-muridNya yang paling lemah sama seperti Ia memperdulikan murid-muridNya yang paling kuat. Semua orang  yang percaya diberikan kepadaNya oleh BapaNya, dan Ia telah menanggung segala sesuatu meskipun mereka penuh dengan kelemahan – untuk membawa mereka semua dengan selamat ke sorga.

Pesan terakhir saya dalam bab ini, saya ingin agar para pembaca memberi perhatian yang besar pada keempat Injil dan pada kelima bagian yang dibahas dalam bab ini. Saya ingin semua orang mengenal Kristus dan mengenalNya dengan semakin baik sehingga mereka menerima hidup kekal melalui Dia! Kekudusan didapat dengan mengenal Kristus dengan baik dan dengan semakin baik.



Sumber Artikel : Buku Aspek-Aspek Kekudusan, bab 12, hal 95-104. Penerbit : Momentum.

Struktur Dasar Dari Pembelaan Alkitabiah

 Oleh : Rev. Dr. Richard L. Pratt Jr.


Janganlah menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia. Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak (Ams 26:4, 5).

Mengamati kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh pembela iman lain seperti yang telah kita lakukan dalam pelajaran terdahulu, memang ada manfaatnya, tetapi tugas kita yang lebih penting adalah mengembangkan pembelaan kekristenan secara alkitabiah dan secara positif. Oleh karena itu, dalam pelajaran ini kita akan berusaha untuk mengajukan struktur dasar dari sebuah apologetika berdasarkan petunjuk yang dapat kita temui di dalam Firman Tuhan. Namun sebelum kita memulainya haruslah diingat bahwa Alkitab tidak memberikan kepada kita petunjuk secara terinci mengenai langkah demi lahgkah dalam membela iman. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk mengakui bahwa struktur yang diajukan dalam pelajaran ini hanyalah salah satu dari sekian banyak prinsip- prinsip alkitabiah yang telah ada. Sehingga saran-saran dari pelajaran ini mungkin dapat menolong bagi sebagian orang, namun tidak demikian bagi yang lain. Sebab pada waktu tertentu hanya sebagian dari ide-ide ini yang akan cocok dalam situasi tertentu. Namun apapun pendekatan yang diadopsi, kita harus pasti bahwa metode ini sejalan dengan prinsip alkitabiah yang telah kita diskusikan pada pelajaran terdahulu.

A. Penginjilan dan Apologetika

Hal penting dalam struktur dari pembelaan alkitabiah adalah relasi apologetika dengan penginjilan. Banyak praktek-praktek yang tidak alkitabiah timbul dari kesalahmengertian hubungan antara apologetika dengan penginjilan. Penginjilan dan apologetika adalah sama dalam beberapa hal. Keduanya merupakan tanggung jawab dari orang-orang percaya. Semua orang percaya bertanggung jawab untuk menyebarkan Injil Kristus dan membelanya dengan kelakuan dan perkataan mereka. Penginjilan dan apologetika keduanya berasumsi bahwa ada kerelaan dari orang tidak percaya untuk mendengar dan mendiskusikan otoritas Kristus akan kehidupan- Nya. Baik penginjil maupun pembela iman jangan sampai melemparkan mutiara yang berharga (kebenaran) ke hadapan mereka yang tidak lain hanya ingin menghina/mengejek Kristus (lihat Mat 7:6). Namun perlu diingat, bahwa baik dalam penginjilan maupun apologetika, orang Kristen berhubungan dengan mati dan hidupnya seseorang.

Kebanyakan orang berpikir bahwa apologetika hanya merupakan permainan intelektual di mana tidak ada sesuatupun yang dikorbankan atau dirugikan, selain daripada menang atau kalah dalam suatu argumentasi. Namun seperti apa yang telah dikatakan sebelumnya, sama halnya dengan penginjilan dalam apologetika kita juga menawarkan kepada orang tidak percaya, suatu pemilihan antara keselamatan atau hukuman Allah. Dan sama halnya dengan penginjilan alkitabiah, apologetika alkitabiah pun tidak dapat menjamin pertobatan orang berdosa. Segala usaha kita dan argumentasi kita yang terbaik tidak akan memenangkan orang tidak percaya, tanpa ia dijamah oleh anugerah Allah sehingga ia dimungkinkan untuk rela dan bersedia percaya. Belajar mengenai apologetika tidak akan membuat seorang pun secara otomatis menjadi pemenang jiwa, hanya anugerah Allah yang dapat membuat Injil efektif.

Hubungan yang erat antara penginjilan dan apologetika dapat kita lihat dalam Firman Tuhan. Di dalam Kis 26:2, Paulus menyatakan pembelaannya di hadapan Raja Agripa. Pada waktu itu Paulus mengajukan Injil Kristus sebagai bagian inti kalau tidak dapat dikatakan sebagai klimaks dari pembelaannya:
bahwa Mesias harus menderita sengsara dan bahwa Ia adalah yang pertama yang akan bangkit dari antara orang mati, dan bahwa Ia akan memberitakan terang kepada bangsa ini dan kepada bangsa-bangsa lain (Kis 26:23).

Di bagian lain Paulus menulis kepada Timotius mengenai pembelaannya yang pertama akan kekristenan, di mana dia menyebutkan bahwa ia berharap dalam pembelaannya "proklamasi akan secara sepenuhnya dicapai, dan kiranya semua orang tidak percaya dapat mendengar" (2Ti 4:17). Dengan kata lain, apologetika dari Paulus akanlah lengkap apabila itu memenuhi kebutuhan dari proklamasi Injil kepada orang tidak percaya. Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, pembelaan iman harus dihubungkan dengan deklarasi dari Kabar Baik bahwa keselamatan dari dosa dan kematian telah datang melalui kematian dan kebangkitan Yesus, Anak Allah.

Apabila persamaan yang dimiliki oleh apologetika dan penginjilan selalu kita ingat, maka konsep umum yang salah dapat dihindari. Apologetika bukanlah merupakan suatu usaha untuk mengkonfrontasi pikiran orang tidak percaya belaka dan mengabaikan kehendak dan emosi untuk penginjilan. Pada saat kita membela iman dengan benar kita tidak hanya berargumentasi untuk kekristenan dalam mempersiapkan untuk tahap selanjutnya di mana kita akan menantang orang tidak percaya untuk berbalik kepada Kristus untuk keselamatan. Melainkan, apologetika mengkonfrontasi keseluruhan pribadi dari orang tidak percaya dengan tuntutan Allah dalam Kristus. Membela Injil tidak hanya merupakan suatu pendahuluan untuk menawarkan Injil, tapi mengandung deklarasi dari Injil.

Bersamaan dengan kepentingan untuk memberikan perhatian akan hubungan apologetika dengan penginjilan kita juga perlu untuk membuat pemisahan di antara kedua hal ini. Kalau kita tidak melakukannya, maka akan mengakibatkan dua macam kecenderungan. Pada satu pihak, orang percaya akan cenderung untuk meninggalkan segala usaha untuk membela iman dan menggantikannya dengan hanya berkhotbah mengenai iman. Apabila apologetika dan penginjilan adalah sama, orang Kristen mungkin akan menolak untuk menjawab pertanyaan dari orang tidak percaya dan mengatakan: "Kamu harus percaya akan apa yang saya katakan karena kamu harus percaya!" Pemikiran di atas berbeda jauh dengan apa yang telah dilakukan oleh Kristus dan para murid-Nya. Mereka menanggapi sanggahan dari para lawan mereka dengan sangat serius.

Pada pihak lain, gagal untuk memisahkan apologetika dan penginjilan akan mengakibatkan orang Kristen berpikir bahwa ia harus selalu memberikan penjelasan yang panjang lebar sebelum dapat meyakinkan orang tidak percaya untuk percaya kepada Kristus. Apabila orang tidak percaya mendekati orang Kristen yang semacam itu dan mengatakan bahwa ia mau percaya, orang Kristen itu akan menjawab, "Tunggu dulu! Saudara tidak dapat betul-betul percaya sampai saya dapat menjawab sanggahan yang biasanya diajukan mengenai Kristus oleh yang lain." Sedangkan Paulus, dalam menanggapi hal yang sama, hanya menjawab. "Percaya dalam Tuhan Yesus, dan kamu akan diselamatkan" (Kis 16:31).

Menyamakan secara total antara apologetika dengan penginjilan sering kali akan memimpin kepada praktek dan metode yang tidak alkitabiah. Oleh karena itu, perhatian harus diberikan untuk membedakan satu dengan yang lainnya.

Adalah menolong untuk melihat perbedaan di antara apologetika dengan penginjilan dalam hal tujuan. Penginjilan lebih dimaksudkan kepada proklamasi dari penghakiman yang akan datang dan kabar baik dari keselamatan dalam kematian dan kebangkitan Kristus. Orang tidak percaya diberitahukan dengan istilah yang pasti:

Barangsiapa percaya kepada Anak, ia beroleh hidup yang kekal, tetapi barangsiapa tidak taat kepada Anak, ia tidak akan melihat hidup, melainkan murka Allah tetap ada di atasnya (Yoh 3:36).

Sedangkan apologetika lebih memperhatikan atau bertujuan untuk membenarkan klaim ini. Kita membuat pembelaan "kepada setiap orang yang bertanya kepada kita untuk memberikan jawaban akan pengharapan yang ada di dalam kita" (1Pe 3:15). Dalam pengertian ini, maka dapat dikatakan bahwa penginjilan lebih berhubungan dengan apa yang harus kita percaya dan apologetika lebih berhubungan dengan mengapa kita harus percaya. Tentu saja kedua bidang ini banyak menaruh perhatian yang sama, namun dapat dikatakan bahwa apologetika merupakan kelanjutan dari penginjilan, oleh karena apologetika berusaha untuk mempertahankan dan meyakinkan orang tidak percaya akan berita penghakiman dan pengharapan yang telah disajikan dalam Injil.

Dengan dasar ini maka kita dapat menunjukkan dengan lebih jelas bagaimana kita harus memulai dan mengakhiri pembelaan iman Kristen. Seperti yang telah dikatakan dalam 1Pe 3:15, kita diberitahukan bahwa persiapan kita untuk berapologetika harus dipraktekkan pada saat kita diminta untuk menjawab mengapa orang Kristen mempunyai pengharapan. Dalam percakapan biasa dengan orang tidak percaya kesempatan-kesempatan untuk berapologetika mungkin timbul sebagai sebuah hasil dari diskusi akan suatu hal tertentu atau suatu bahan perdebatan.

Pada saat orang Kristen memberikan pandangannya dalam hal ini, ia mempunyai kesempatan untuk memperlihatkan pendapatnya dari sudut iman Kristennya dan pada saat yang sama menyatakan akan kesetiaannya pada kebergantungan yang mutlak kepada Kristus. Dan pembelaannya akan diakhiri dengan sebuah tantangan bagi orang tidak percaya untuk menyerahkan diri kepada Injil Kristus.

Misalnya orang percaya akan mengekspresikan pendapatnya mengenai perang, hukuman mati, atau isu-isu lainnya. Apapun tanggapan yang akan diberikan, apabila percakapan ini berlangsung cukup panjang, orang percaya akan terlibat dalam membela komitmen dia kepada Kristus dari mana pandangannya bersumber. Pada saat pembelaanya dimulai, maka pembelaannya harus berhubungan dengan Injil dan harus menuju kepada tantangan yang efektif akan kemandirian dari manusia yang berdosa dan mengajak dia untuk bertobat.

Apologetika masuk dalam pembicaraan di antara orang tidak percaya dan orang Kristen, pada saat dirasakan ada kebutuhan untuk pembelaan iman. Dan saat itu dipakai untuk melayani dan mengabarkan Injil dengan cara yang efektif dan meyakinkan akan kabar baik dari Kristus.

B. Dua Hal Pembenaran

Ams 26:4, 5 memberikan beberapa petunjuk yang menolong untuk membenarkan klaim dari Injil. Ada petunjuk praktis yang kaya dalam ayat-ayat ini. Dalam kedua ayat ini kita diberitahukan bagaimana kita harus menjawab orang yang berada dalam kebodohan. Kitab Amsal banyak membicarakan mengenai orang bodoh. Dikatakan bahwa pada dasarnya, orang bodoh merupakan orang yang mempertanyakan hikmat Allah yang dapat dipercaya, yang telah diwahyukan kepada manusia. Orang bodoh telah menolak takut kepada Allah dan semua hikmat-Nya.

Dalam hal berapologetika, orang bodoh dapat dikatakan sebagai orang tidak percaya yang meminta orang-orang Kristen untuk membela iman Kristen mereka. Kita diberitahukan, di pihak lain, jangan "menjawab orang bodoh dengan kebodohannya" (ayat 4). Dengan kata lain, kita harus menjawab orang tidak percaya tanpa meninggalkan kebergantungan kita kepada wahyu Allah. Kita harus menjawab mereka dari sudut pandang filsafat kristiani. Di pihak lain, Amsal mengajarkan bahwa kita harus menjawab "orang bodoh berdasarkan kebodohannya" (ayat 5).[1] Pernyataan ini mengandung pengertian bahwa kita harus membela iman Kristen dengan menggunakan sudut pandang filsafat orang tidak percaya. Kita akan melihat akan dua pengertian ini dalam hubungan membenarkan klaim dari iman Kristen.

1. Argumentasi dengan Kebenaran

Argumentasi dengan kebenaran pada dasarnya adalah menjawab sanggahan dan pertanyaan-pertanyaan orang tidak percaya tentang kredibilitas klaim dari orang Kristen dari sudut pandang alkitabiah. Perhatikan alasan dari penulis Amsal yang mengatakan bahwa kita harus berargumentasi dengan kebenaran.

Janganlah menjawab orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan engkau sendiri menjadi sama dengan dia (Ams 26:4).

Orang tidak percaya yang bodoh tidak mempunyai pengharapan untuk terlepas dari akibat-akibat dosa dalam kehidupannya. Dia tidak dapat menemukan Allah dengan filsafatnya, bahkan dia tidak dapat mengetahui mengenai dirinya sendiri atau dunia dengan benar. Apabila orang Kristen gagal untuk mengenali kepentingan dari argumentasi dengan kebenaran, ia pula akan terikat pada kesia-siaan yang sama. Terlalu sering orang Kristen berusaha untuk membenarkan kekristenan dengan menyangkali argumentasi berdasarkan kebenaran dalam metode apologetika yang mereka pakai, sehingga mereka menjadi seperti orang tidak percaya yang bodoh.

Kebingungan yang seperti itu akan dapat dihindari apabila kita memberikan tempat yang benar untuk argumentasi dengan kebenaran. Di Atena, Paulus memulai pembelaannya akan karakter yang benar dari Allah dengan argumentasi dari sudut pandang Kristen. Ia mengatakan:

Sebab ketika aku berjalan jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu, aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: Kepada Allah yang tidak dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan kepada kamu. Allah yang telah menjadikan bumi dan segala isinya, Ia, yang adalah Tuhan atas langit dan bumi, tidak diam dalam kuil- kuil buatan tangan manusia (Kis 17:23-24).

Juga dalam Kis 22, Paulus memulai pembelaannya dengan menyajikan cerita pertobatannya dari sudut pandang Kristen. Apakah kita memulai atau tidak argumentasi kita dengan argumentasi kebenaran dalam setiap situasi tidaklah penting, tetapi yang pasti sangat penting dalam berapologetika secara alkitabiah kita tidak pernah meninggalkan sudut pandang Kristen dalam setiap argumentasi kita.

Dengan argumentasi dari sudut pandang Kristen, orang Kristen akan dapat memperlihatkan bahwa komitmen kebergantungannya kepada Allah, tidak akan mengecewakan atau menyebabkan seseorang frustrasi tetapi dapat menyebabkan seseorang dapat hidup dengan bebas dari kesia-siaan yang disebabkan oleh kuasa dosa. Seperti yang dikatakan oleh Paulus:

Tetapi Paulus menjawab: Aku tidak gila, Festus yang mulia! Aku mengatakan kebenaran dengan pikiran yang sehat! (Kis 26:25).

Argumentasi dengan kebenaran dapat dan akan mengambil bentuk-bentuk yang lain pada saat kita melakukan pendekatan dalam berbagai macam situasi, tetapi apapun bentuk yang diberikan, tanggapan yang diberikan harus berdasarkan wahyu Allah dalam Firman Tuhan. Dengan alasan ini maka merupakan suatu keharusan bahwa pembela iman harus belajar dengan sungguh-sungguh, sehingga dapat mendalami dan mengenali Alkitab dengan baik. Seseorang tidak mungkin dapat berargumentasi dengan kebenaran apabila ia tidak mengetahui akan kebenaran. Setiap aspek dari Firman Tuhan dapat dipergunakan dalam berapologetika, dan keefektifan seorang pembela iman akan bergantung kepada seberapa jauh kemampuannya, untuk secara tepat menggunakan "Firman kebenaran" (2Ti 2:15).

Dalam Firman Tuhan terdapat kebenaran dari Roh Kudus yang akan meyakinkan orang tidak percaya akan kebutuhan mereka, akan Juru Selamat dan kecukupan kematian Kristus dan kebangkitan-Nya untuk keselamatan. Sebagai hamba yang taat kita harus tidak "menjawab orang bodoh berdasarkan kebodohannya" melainkan berdasarkan kebenaran dari Firman Tuhan.

Pada dasarnya ada tiga tahap dalam argumentasi berdasarkan kebenaran. Pertama, orang Kristen harus mengakui bahwa jawabannya berasal dari kepercayaannya kepada Kristus sebagai Tuhan dan Juru Selamat. Pengakuan ini dapat disajikan dalam bentuk pernyataan yang sederhana atau dengan penjelasan yang lebih panjang lebih dari pengalaman pertobatannya. Apapun kasusnya, salah satu cara terbaik untuk menghindari kebingungan yang akan timbul, adalah dengan memulai argumentasi berdasarkan kebenaran dengan pernyataan yang jelas berdasarkan komitmen kepada Kristus.

Langkah yang kedua dari argumentasi kebenaran dapat mengambil satu atau dua bentuk. Apabila pada satu saat si pembela iman tidak mengetahui data alkitabiah yang cukup untuk memberikan tanggapan secara kristiani, ia tidak boleh putus asa. Kekristenan menyediakan suatu penjelasan bahkan untuk kebodohan kita. Kita mungkin tidak tahu oleh karena keterbatasan kita sebagai manusia. Namun secara pasti kita dapat menyatakan bahwa kalau kita ingin mendapatkan jawaban yang benar, hal itu harus dilakukan berdasarkan kebergantungan kepada wahyu Allah. Misalnya, kebanyakan orang Kristen tidak mempunyai pengetahuan tentang bukti ilmiah yang mendukung atau yang melawan evolusi. Namun, hal ini tidak akan pernah dapat membuat orang Kristen meragukan akan kepastian dari catatan Alkitab mengenai penciptaan.

Pada waktu orang Kristen tidak dimungkinkan untuk mengetahui segala sesuatu, saat itu ia mengetahui sumber dari segala sesuatu dan dapat meletakkan kepercayaan mereka kepada Pencipta langit dan bumi dan melawan kesalahan yang berasal dari ketidakpercayaan. Hal-hal yang tidak diketahui tidak akan menakutkan orang Kristen yang bergantung secara mutlak kepada pengetahuan Allah, sebab Allah mengetahui segala sesuatu tanpa terkecuali, dan wahyu-Nya dapat dipercayai secara mutlak. Oleh karena itu argumentasi berdasarkan kebenaran dapat diterapkan dalam situasi yang bagaimanapun juga. Kebenaran itu tidak akan pernah gagal, oleh karena itu harus disajikan meskipun kita tidak memiliki pengetahuan yang cukup.

Di pihak lain, apabila orang percaya mengetahui jawaban atas sanggahan orang tidak percaya, maka jawabannya harus berdasarkan iman kekristenan, dan ia harus membenarkan posisi kekristenan. Pendirian dari pandangan kekristenan yang ditunjukkan dalam Alkitab dan jawaban-jawaban yang ada di sana, sedikit banyak harus dimasukkan dalam argumentasi kebenaran. Apabila dilihat dari terang Firman Tuhan, maka dunia luar dan pengalaman pribadi seorang Kristen mendukung pendirian kristiani. Dunia dan manusia keadaannya adalah seperti apa yang dinyatakan oleh Firman Tuhan, oleh karena itu orang Kristen harus melihat kebenaran ini dan menggunakan aspek-aspek dari penciptaan untuk menggambarkan dan mendukung posisi alkitabiah. Namun ini tidak berarti bahwa bukti-bukti yang ditemukan di luar Alkitab adalah alat yang netral yang dapat digunakan tanpa komitmen kepada Allah. Bukti-bukti di luar Alkitab, sebagaimana halnya bukti-bukti alkitabiah, harus dimengerti dalam konteks kristiani.

Sebagai orang percaya dalam Kristus kita diyakinkan bahwa Alkitab berbicara dengan sebenarnya berkenaan dengan dunia dan pengalaman-pengalaman pribadi orang percaya, dan hubungan antara Firman Tuhan dengan kehidupan ini dapat dilihat dari posisi kristiani, di mana kekristenan terlepas dari kesia-siaan pemikiran yang berdosa. Dengan kerangka pemikiran inilah, maka kita dapat mengerti pembelaan rasul Paulus akan kebangkitan Kristus dalam 1Ko 15:3-8.

Pada dasarnya, ada tiga tahap dari argumentasi yang dipergunakan oleh Paulus dalam ayat-ayat ini. Pertama (ayat 3-4), dia berargumentasi bahwa kematian Kristus, penguburan-Nya, dan kebangkitan-Nya adalah sesuai dengan Perjanjian Lama dan tradisi para rasul. Paulus berargumentasi bahwa, "Dia telah dibangkitkan pada hari yang ketiga menurut Firman Tuhan" (1Ko 15:4). Kedua, di ayat 5-7, Paulus mengajukan argumentasi dari sejarah luar yang didukung oleh klaim-klaim dari banyak saksi mata. Dia menyatakan dengan berani bahwa Kristus "memperlihatkan diri kepada lebih dari lima ratus saudara pada satu waktu" (1Ko 15:6).

Ketiga, di ayat 8, Paulus mendukung kebenaran dari kebangkitan Kristus melalui pengalaman pribadinya di perjalanan menuju Damsyik. "Dia menyatakan diri-Nya kepadaku juga" (1Ko 15:8). Di sini kita melihat bahwa Paulus dengan penuh keyakinan berargumentasi hanya dari sudut pandang kekristenan dan bukan dari sudut pandang netral. Lebih daripada itu, kita harus melihat bahwa Paulus tidak berargumentasi berdasarkan kemungkinan dari kebangkitan. Bukti dari Firman Tuhan membuat fakta kebangkitan Kristus merupakan kepastian bukan suatu kemungkinan. Meskipun fakta ini merupakan kebenaran yang pasti, namun kita juga harus menyadari akan fakta bahwa para rasul juga tidak ragu-ragu untuk menggunakan bukti-bukti di luar Alkitab, yang digunakan berdasarkan terang Firman Tuhan.

Sejalan dengan teladan yang diberikan oleh Paulus, maka pada dasarnya ada tiga sumber bukti-bukti yang dapat kita pergunakan dalam berargumentasi berdasarkan kebenaran. Kita dapat mendukung klaim kekristenan dengan bukti dari Firman Tuhan, dari dunia luar, dan dari pengalaman pribadi kita. Berikut ini kita akan melihat dengan lebih teliti akan setiap sumber bukti ini.

a. Bukti dari Firman Tuhan

Orang Kristen melihat Alkitab sebagai Firman Tuhan yang berotoritas ilahi dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab. Oleh karena itu mendukung pandangan kekristenan berdasarkan fakta-fakta di dalam Firman Tuhan merupakan dukungan yang sangat penting. Untuk memberikan bukti berdasarkan terang Firman Tuhan tidak berarti hanya sekedar mengutip suatu ayat yang "membuktikan" inti dari suatu pertanyaan. Sering kali metode yang semacam itu sebenarnya tidak membuktikan apa-apa. Pada waktu menjawab pertanyaan yang diajukan, dukungan Alkitab yang diberikan harus dicapai dengan proses menghubungkan prinsip-prinsip alkitabiah, atau apa yang disebut logika alkitabiah.

Apapun kasusnya, apabila orang Kristen telah mengerti dengan tepat dan benar isu-isu dan dukungan alkitabiah untuk suatu posisi, maka itu berarti pandangannya telah didukung dengan benar. Dalam Firman Tuhan kita dapat menemukan bagaimana Allah menanggapi pertanyaan-pertanyaan dan bantahan- bantahan, cara tanggapan Allah ini sangat penting untuk membela kekristenan.

b. Bukti dari dunia luar

Apabila kita melihat dari terang Firman Tuhan, sebenarnya dunia luar menyediakan banyak fakta-fakta untuk mendukung pandangan kekristenan. Tentu saja, kita harus sangat berhati-hati pada saat menggunakan bukti- bukti semacam ini, sebab sering kali justru orang percaya akan gagal untuk mengerti dunia di sekitarnya dengan benar. Bukti-bukti dari dunia luar kadang-kadang menghasilkan atau membuktikan sesuatu lain daripada apa yang mereka pikirkan untuk dibuktikan. Misalnya, pada masa lalu orang Kristen, berdasarkan bukti-bukti yang diketahui pada waktu itu menyatakan bahwa putaran matahari mengelilingi bumi "membuktikan" bahwa bumi dan segala penghuninya merupakan pusat, di mana fakta ini sesuai dengan rencana Allah untuk alam semesta. Sekarang, ilmu pengetahuan memperlihatkan bahwa bumi sebenarnya yang berputar mengelilingi matahari.

Apa yang dulu secara tidak tepat dipergunakan sebagai bukti untuk kekristenan sekarang tidak lagi dapat diterima, bahkan oleh orang Kristen sendiri. Oleh karena itu, perhatian harus diberikan dalam menggunakan atau tidak menggunakan bukti-bukti dari dunia luar.

Bukti-bukti dari luar dengan kehati-hatian harus dipergunakan di mana dimungkinkan dalam membela kekristenan.

Agama Kristen memang mempengaruhi cara di mana orang percaya memandang dunia luar dan fakta ini harus diketahui dengan jelas. Orang-orang Kristen tidak mempercayai kekristenan berdasarkan pengabaian akan fakta-fakta, seperti yang disangka oleh beberapa teolog moderen. Namun kepercayaan mereka adalah berdasarkan fakta-fakta yang ditafsirkan dengan benar, bukan berdasarkan kesalahan penafsiran dari fakta-fakta oleh manusia yang berdosa. Kerangka berpikir ini mengajak dan mendorong kita untuk menggunakan ilmu pengetahuan, sejarah, dan argumentasi berdasarkan logika secara tepat untuk mendukung pandangan kekristenan.

Ada kecenderungan dari pembela iman Kristen untuk mendasarkan jatuh bangunnya kekristenan di atas bukti-bukti ini. Pandangan seperti ini meninggalkan satu-satunya cara untuk mendapatkan pengertian yang benar akan bukti-bukti, yaitu komitmen kepada Kristus dan Firman-Nya. Di pihak lain, beberapa orang percaya yang berkehendak untuk berpegang secara teguh kepada komitmen mereka berpikir bahwa bukti-bukti dari luar itu tidak ada gunanya. Cara berpikir seperti ini telah gagal untuk melihat kecukupan otoritas Firman Tuhan yang mencakup segala sesuatu, sehingga manusia dapat mendapatkan pengertian yang benar dari dunia ini. Menurut Firman Tuhan bukti-bukti luar adalah penting. Paulus sendiri sering menggunakannya. Misalnya, dia berbicara mengenai pengetahuan akan Allah di Listra dengan menunjuk kepada keteraturan dunia luar, dengan mengatakan:

namun Ia bukan tidak menyatakan diri-Nya dengan berbagai-bagai kebajikan, yaitu dengan menurunkan hujan dari langit dan dengan memberikan musim-musim subur bagi kamu. Ia memuaskan hatimu dengan makanan dan kegembiraan (Kis 14:17).

Dia juga menyatakan kepada Festus:

Raja juga tahu tentang segala perkara ini, sebab itu aku berani berbicara terus terang kepadanya. Aku yakin, bahwa tidak ada sesuatupun dari semuanya ini yang belum didengarnya, karena perkara ini tidak terjadi di tempat yang terpencil (Kis 26:26).

Injil Yohanes meletakkan tekanan yang besar pada bukti-bukti sejarah atau tanda-tanda akan keilahian Yesus.

Yohanes mengatakan dengan terus terang:

Memang masih banyak tanda lain yang dibuat Yesus di depan mata murid- murid-Nya, yang tidak tercatat dalam kitab ini, tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya (Yoh 20:30-31).

Apabila dipergunakan dengan benar, maka bukti-bukti dari luar merupakan bagian yang vital dari argumentasi berdasarkan kebenaran.

c. Bukti dari pengalaman pribadi
Ada satu lagi sumber dari bukti yang dapat dipergunakan oleh orang percaya dalam argumentasi berdasarkan kebenaran, yaitu bukti dari pengalaman pribadi akan iman Kristennya. Bukti-bukti dari dunia luar biasanya didapatkan berdasarkan penyelidikan umum dari satu hal ke satu hal yang lain, tetapi bukti-bukti dari pengalaman pribadi biasanya merupakan hal yang bersifat pribadi. Aspek kehidupan pribadi seperti pengalaman pertobatan dan pengalaman pertumbuhan pribadi seorang percaya dalam hubungan dengan Allah, merupakan dua dari dasar-dasar argumentasi penting lainnya, yang dapat digunakan. Sering kali Paulus membela iman dengan menceritakan pengalamannya dalam perjalanan ke Damsyik (Kis 26:12-20). Dia menyajikan pertemuannya secara pribadi dengan Kristus sebagai suatu fakta yang harus diterima sebagai kebenaran berdasarkan pengakuannya. Tentu saja pertobatan yang sejati harus terlihat dalam perubahan hidup dari seorang percaya, tetapi pertobatan dan kelanjutan hubungan yang intim dengan Roh Kudus merupakan sumber-sumber dari bukti yang tidak dapat disangkali. Di mana pengalaman pribadinya dengan Tuhan akan mempengaruhi orang Kristen dalam memandang segala sesuatu.

Setelah penyajian dari bukti-bukti kita di atas, maka sekarang kita akan memasuki tahap ketiga dari argumentasi berdasarkan kebenaran. Harus disadari bahwa dalam kebanyakan kasus, orang tidak percaya tidak akan terpuaskan dengan pembenaran yang diberikan berdasarkan tahap ke dua dari argumentasi berdasarkan kebenaran. Dalam kasus yang demikian, maka argumentasi berdasarkan kebenaran harus berjalan setahap lebih jauh.

Pada waktu pembelaan alkitabiah telah diberikan adalah penting untuk memperlihatkan fakta bahwa alasan orang tidak percaya menolak bukti orang Kristen, adalah disebabkan oleh komitmen mereka kepada kemandirian. Setiap pemikiran yang bertolak belakang dengan kekristenan dihasilkan oleh orang tidak percaya yang menghendaki untuk berdiri sendiri dalam pemikiran mereka, dan menjadikan pemikiran mereka yang mandiri menjadi hakim dalam menentukan kebenaran.

Kita hidup di jaman di mana banyak orang tidak percaya berpikir bahwa mereka dalam posisi netral dan objektif. Oleh karena itu, kita harus menampilkan dasar komitmen mereka. Ini dapat dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan secara beruntun. Orang Kristen harus menyatakan bahwa pada dasarnya orang tidak percaya telah mendedikasikan dirinya kepada kemandirian. Buatlah orang tidak percaya untuk menyadari kemandirian mereka dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan ini: "Mengapa kamu mempercayai hal itu?" atau "Bagaimana kamu mengetahui hal itu?" teras ajukan pertanyaan-pertanyaan mereka sampai mereka menyadari akan kemandirian mereka.

Orang tidak percaya berpikir dan percaya seperti itu oleh karena mereka telah menentukan hal itu benar secara mandiri. Misalnya, orang tidak percaya dapat berargumentasi bahwa Allah orang Kristen itu tidak ada. Apabila kita bertanya "Mengapa?" dia mungkin akan berkata, "Sebab kamu telah memberikan kepada saya bukti-bukti yang tidak meyakinkan." Apabila kita bertanya lagi mengapa dia berpikir bahwa bukti-bukti itu tidak meyakinkan, dia akan mengakui bahwa bukti-bukti itu tidak cocok dengan kriteria kebenarannya yang berdasarkan kemandirian. Apabila kita pertanyakan mengapa dia menerima kriteria kebenarannya sebagai tolok ukur, maka dia akan memperlihatkan bahwa itu adalah hasil dari keputusannya sendiri untuk melihat segala sesuatu tanpa takluk kepada Alkitab dan Allah.

Dengan menyatakan fakta komitmen kepada kemandirian dari orang tidak percaya, orang Kristen menyatakan kebenaran bahwa semua manusia telah dipilih untuk berpihak kepada Kristus atau melawan Kristus. Garis pemisah ini sangat jelas dan pintu terbuka untuk mendemonstrasikan tidak adanya pengharapan dari cara berpikir orang tidak percaya.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa argumentasi berdasarkan kebenaran adalah menjawab sanggahan orang tidak percaya dengan tanggapan-tanggapan kristiani. Pada dasarnya hal itu dilakukan dalam, tiga tahap. Pertama, orang Kristen harus mengakui bahwa semua pendapatnya adalah berdasarkan iman kepercayaannya kepada Kristus dan di dalam Kristus. Kedua, dia harus memberikan bukti kristiani atau penjelasan mengenai ketidaktahuannya dalam hal-hal tertentu terlebih dahulu. Ketiga, harus diperlihatkan alasan mengapa orang tidak percaya tidak menerima pandangan kristiani, yaitu oleh karena kondisi mereka yang berdosa dan kesetiaan mereka kepada kemandirian mereka. Apabila kita selalu mengingat ketiga tahap ini, maka tidaklah sukar bagi kita untuk membangun suatu argumentasi berdasarkan kebenaran- kebenaran untuk membela kekristenan.

2. Argumentasi Berdasarkan Kebodohan

Ams 26:4, 5 juga mengatakan bahwa kita harus berargumentasi berdasarkan kebodohan. Kita harus menjawab orang tidak percaya berdasarkan sudut pandang dan pandangan mereka sendiri. Tujuan dari argumentasi semacam itu bukan untuk mendirikan pandangan kristiani secara positif melainkan untuk mendemonstrasikan kebodohan dari pemikiran orang berdosa.

Jawablah orang bebal menurut kebodohannya, supaya jangan ia menganggap dirinya bijak (Ams 26:5).

Pembela iman Kristen berusaha menggunakan bukti-bukti dan argumentasi- argumentasi yang dapat dimiliki oleh sistem pemikiran orang tidak percaya, dengan tujuan mematahkan keyakinan orang tidak percaya kepada dirinya sendiri. Orang tidak percaya tidak mempunyai hikmat, kemandiriannya hanyalah merupakan suatu tipuan. Kekecewaan orang tidak percaya pada cara berpikir mereka akan muncul, pada saat orang Kristen secara efektif memperlihatkan kepada dia, bahwa penolakannya kepada Kristus adalah berdasarkan pada kontradiksi pada dirinya sendiri, dan inilah yang membuat mereka frustrasi, cara berpikir seperti ini, tidak akan memimpin mereka kepada pengertian yang benar akan dirinya sendiri, dunia, ataupun Allah.

Filsafat non Kristen ada di bawah penghakiman Allah, filsafat ini tidak dapat menolong tetapi akan menghancurkan dirinya sendiri. Yeremia mengomentari tentang akibat yang akan terjadi dari pemikiran yang berdosa sebagai berikut:

Kejahatannya akan menghajar engkau, dan kemurtadanmu akan menyiksa engkau! Ketahuilah dan lihatlah, betapa jahat dan pedihnya engkau meninggalkan Tuhan, Allahmu; dan tidak gemetar terhadap Aku, demikianlah firman Tuhan Allah semesta alam (Yer 2:19).

Mereka yang meninggalkan Allah dikoreksi dan dibuktikan oleh usaha mereka sendiri. Pemazmur juga berdoa sebagai berikut:

Biarlah mereka menanggung kesalahan mereka, ya Allah, biarlah mereka jatuh karena rancangannya sendiri; buanglah mereka karena banyaknya pelanggaran mereka sebab mereka memberontak terhadap Engkau (Maz 5:10).

Lebih jauh kita dapat baca:

Bangsa-bangsa terbenam dalam pelubang yang dibuatnya, kakinya tertangkap dalam jaring yang dipasangnya sendiri. Tuhan telah memperkenalkan diri-Nya, Ia menjalankan penghakiman; orang fasik terjerat dalam perbuatan tangannya sendiri (Maz 9:15, 16).

Semua rencana yang jahat, kelicikan, dan usaha-usaha orang tidak percaya berbalik melawan diri mereka sendiri pada saat penghakiman Allah dinyatakan kepada mereka. Kesia-siaan yang diwariskan ini diperlihatkan kepada orang tidak percaya oleh orang Kristen pada saat ketidakstabilan di dalam sistem cara berpikir dari orang tidak percaya dipertunjukkan. Dalam hal ini seorang pembela iman menjadi utusan dari penghakiman yang menyatakan kepada orang tidak percaya, bahwa penolakan mereka kepada Kristus akan menghasilkan tiada pengharapan dan kesia-siaan.

Sebagaimana halnya dengan argumentasi berdasarkan kebenaran maka argumentasi berdasarkan kebodohan juga memiliki tiga tahap dasar. Setelah kita memperlihatkan fakta bahwa orang tidak percaya telah mendedikasikan diri kepada kemandirian terlepas dari Allah, kesia-siaan dari posisinya dapat diperlihatkan dengan mempertanyakan keabsahan dari kemandiriannya. Apabila orang tidak percaya berusaha untuk membenarkannya atau mencoba untuk berargumentasi bahwa kemandiriannya tidak membutuhkan pembenaran, tidaklah sukar untuk memperlihatkan bahwa tanggapannya itu sendiri adalah pengaruh dari komitmen kepada kemandirian. Tanyakanlah kepadanya mengapa ia berpikiran bahwa tanggapannya memiliki keabsahan. Dari jawabannya kita dapat melihat bahwa dia hanya memberikan gambaran bagaimana kesetiaannya kepada kemandirian telah menyebar ke semua aspek dalam dirinya. Apabila orang tidak percaya berkata bahwa komitmennya kepada kemandirian tidak dapat dibenarkan, maka orang Kristen dapat bertanya kepada dia mengapa dia tetap berpegang secara setia kepada hal itu.

Apapun kasusnya, tidaklah sukar untuk memperlihatkan kepada orang tidak percaya bahwa ia telah mendedikasikan diri mereka kepada kemandirian secara buta, dan mereka telah menyangkal kekristenan dengan alasan yang tidak dapat dibenarkan. Lebih daripada itu, orang tidak percaya sendiri menghadapi keputusasaan, sebab mereka berharap untuk berpegang kepada posisi yang masuk akal dalam melawan kekristenan, tetapi pada saat yang sama mereka terperangkap dalam lingkaran yang menghancurkan dirinya sendiri. Lingkaran ini hanya dapat diputuskan dengan percaya kepada Injil.

Orang tidak percaya memang berargumentasi secara melingkar, demikian juga halnya dengan orang Kristen. Tahap kedua dan ketiga dalam argumentasi berdasarkan kebodohan berusaha untuk membuat nyata bahwa sirkulasi pemikiran orang Kristen dan sirkulasi pemikiran orang tidak percaya adalah sama sekali berbeda. Sirkulasi pemikiran Kristen menyediakan jawaban akan tujuan manusia di dunia, sedangkan sirkulasi pemikiran orang tidak percaya melemparkan manusia ke dalam lingkaran ketidakkonsistenan dan kontradiksi dalam dirinya sendiri. Kesia-siaan dari ketidakpercayaan tidak hanya terlihat pada komitmen kepada kemandirian, tetapi juga terlihat dalam sanggahan-sanggahan tertentu yang diajukan oleh orang tidak percaya untuk menentang kekristenan.

Tahap yang kedua dalam argumentasi berdasarkan kebodohan dilakukan bergantung kepada macam dari sanggahan yang orang tidak percaya ajukan. Di satu pihak, apabila orang tidak percaya membuat klaim akan kepastian yang mutlak, maka kita harus memperlihatkan kepada dia akan ketidakpastian yang mutlak akan pernyataannya. Sedangkan di pihak lain, apabila orang tidak percaya membuat klaim akan ketidakyakinan yang mutlak, maka kita harus memperlihatkan kepada mereka akan kepastian yang mutlak dari posisi mereka. Dengan kata lain, kita harus memperlihatkan kepada orang tidak percaya bahwa pandangannya dihancurkan oleh ketidakpastian mereka yang mutlak dan kepastian mereka yang mutlak, yang harus mereka yakini pada saat yang sama. Kita akan melihat bagaimana kerangka berpikir orang tidak percaya ini diterapkan pada pandangan mereka akan Allah, dunia, dan manusia.

a. Sanggahan berkenaan dengan Allah dan Wahyu-Nya
Orang tidak percaya tidak dapat memiliki kepastian akan pandangannya mengenai Allah dan Wahyu-Nya, karena dia tidak mengetahui dan tidak dapat mengetahui secara mendalam akan semua ciptaan, demikian juga Allah sendiri. Ketidaktahuannya ini memaksa dia untuk tidak pasti secara mutlak. Orang tidak percaya dapat tidak pasti juga, sebab untuk tidak pasti berarti dia harus pasti tidak pasti, dan orang tidak percaya tidak dapat memiliki kepastian semacam itu. Kebanyakan orang tidak percaya dapat memperlihatkan realitas dari dilema ini dengan menunjukkan ketidaktahuan mereka dalam hal-hal agamawi. Oleh karena itu mereka tidak dapat berbicara secara konsisten mengenai Allah maupun Wahyu-Nya.

b. Sanggahan berkenaan dengan dunia

Sering sekali orang tidak percaya membantah kekristenan dengan dasar pertimbangan yang berkenaan dengan dunia luar. Namun demikian orang tidak percaya tidak dapat berpegang kepada suatu posisi yang pasti karena dia tidak dapat memperhitungkan semua faktor-faktor dan kemungkinan- kemungkinan peristiwa yang menyebabkan sesuatu terjadi dalam alam semesta ini. Dan dia juga tidak dapat tidak pasti secara pasti pada posisinya mengenai karakter dari dunia. Akhirnya orang tidak percaya hanya jatuh ke dalam dilema ini. Sebab selalu ada ide baru dan penemuan baru mengenai dunia ini, di mana membuat orang tidak percaya berada pada posisi yang pasti dan tidak pasti, pada saat yang sama. Sesungguhnya tidaklah mungkin bagi mereka untuk terlepas dari problem ini.

c. Sanggahan berkenaan dengan manusia

Sama halnya dengan posisi orang tidak percaya akan Allah dan dunia, maka pandangan mereka akan manusia pun adalah berdasarkan kepastian yang tidak pasti dan berdasarkan ketidakpastian yang pasti. Akibatnya, pada saat orang tidak percaya membantah kekristenan atas dasar pandangannya akan manusia, pada saat yang sama dia akan memperlihatkan ketidakmampuannya untuk berpegang kepada posisinya secara konsisten.

Tahap kedua dari argumentasi berdasarkan kebodohan dapat diringkaskan sebagai berikut. Orang Kristen dapat berusaha untuk memperlihatkan ketidakmampuan orang tidak percaya untuk memiliki kepastian dengan menunjukkan bahwa orang tidak percaya belum menyelidiki semua fakta-fakta dalam alam semesta ini. Dia dapat melakukan ini dengan cara menunjukkan beberapa fakta atau bukti yang dapat diterima oleh orang tidak percaya, di mana nantinya akan mendukung pandangan kristiani. Sangatlah penting bagi orang Kristen untuk menunjukkan bahwa orang tidak percaya tidak dapat menyelidiki semua fakta-fakta itu, sebab keterbatasannya membuat penyelidikan secara meyeluruh menjadi tidak mungkin.

Keterbatasan fakta-fakta memungkinkan orang percaya untuk salah dalam mengambil kesimpulan, sehingga orang tidak percaya tidak dapat memastikan secara mutlak bahwa fakta itu benar-benar melawan posisi kekristenan. Apabila dia berharap untuk berpegang kepada posisinya, dia berbuat itu secara buta, dengan tujuan memilih untuk melawan Kristus, dan bukan berdasarkan fakta.

Posisi akan ketidakpastian secara total dapat diringkaskan dengan mengatakan bahwa tidak cukup fakta untuk membuat seseorang meyakini sesuatu. "Kamu terlalu dogmatis, kita tidak dapat mengatakan secara pasti akan semua itu," kata orang tidak percaya kepada orang Kristen. Mungkin sanggahan ini kelihatannya cukup beralasan. Namun, ini harus dilihat bahwa pada saat orang tidak percaya berkata tidak ada cukup fakta, dia berada pada posisi yang sama dengan orang tidak percaya lain, yang berkata bahwa fakta-fakta itu melawan kekristenan. Satu jawaban yang paling baik untuk menanggapi bantahan orang tidak percaya, adalah dengan mengatakan, "Kamu belum melihat cukup fakta untuk mengetahui secara pasti bahwa kami harus tidak pasti." Apabila orang tidak percaya menjawab bahwa ia tidak pasti akan sanggahannya juga, maka pernyataannya bukanlah merupakan sanggahan sama sekali. Melainkan hanya merupakan pernyataan akan keraguannya secara pribadi, dan bukan merupakan keharusan untuk ragu.

Berdasarkan hal ini kita dapat melihat bahwa orang tidak percaya tidak dapat mengatakan bahwa suatu fakta melawan kekristenan, demikian pula orang tidak percaya juga tidak dapat melawan kekristenan berdasarkan tidak cukupnya fakta, oleh karena dia tidak dapat mempunyai keyakinan yang mutlak akan kedua pernyataannya itu. Orang yang belum diselamatkan terperangkap dalam dilema yang tiada berujung ini. Dia tidak dapat pasti atau tidak pasti secara konsisten. Dia terperangkap oleh pandangannya sendiri atau taktiknya sendiri.

Tahap ketiga dari argumentasi berdasarkan kebodohan menyatakan mengapa orang tidak percaya menghadapi kesia-siaan. Itu disebabkan oleh komitmennya kepada kemandirian, dan penyangkalannya akan perbedaan Pencipta dengan ciptaan, sehingga ia terperangkap oleh sistemnya sendiri. Dalam penutup dari argumentasi berdasarkan kebodohan, orang Kristen harus menantang komitmen orang tidak percaya akan kemandiriannya. Perlawanan melawan Allah harus dikonfrontasikan dengan kebutuhannya untuk bertobat dan iman kepada Kristus. Oleh karena itu, dalam banyak kasus apologetika alkitabiah dimulai dengan Injil, dan seharusnya diakhiri dengan Injil pula.

Hal-hal dalam pelajaran ini adalah sangat penting walaupun hanya disajikan dalam bentuk garis besar. Contoh-contoh akan diberikan dalam pelajaran- pelajaran yang berikut. Perhatian harus diberikan dalam hal-hal ini oleh karena banyak pertimbangan-pertimbangan yang mana mungkin dalam kasus tertentu diperlukan untuk memperpendek atau merubah garis besar yang diberikan di sini. Namun demikian, semua kasus yang telah dibicarakan dalam pelajaran ini harus dikuasai oleh orang percaya sebaik mungkin sesuai dengan kemampuannya. Pengetahuan dari dasar struktur yang disarankan di sini akan sering terbukti tidak dapat dikesampingkan oleh pembela iman Kristen.


Pertanyaan-pertanyaan Sebagai Bahan Evaluasi:

1.Dalam pengertian bagaimana apologetika dan penginjilan adalah serupa?

2.Mengapa kita dapat menyebut apologetika sebagai "pengembangan dari penginjilan?"

3.Kapan kita harus memulai membela iman kita?

4.Apakah dua bentuk penyajian yang dijelaskan dalam Ams 26:4, 5?

5.Apakah tiga tahap dasar dalam argumentasi berdasarkan kebenaran?

6.Apakah tiga tahap dasar dalam argumentasi berdasarkan kebodohan?

7.Bagaimana seharusnya sebuah pembelaan berdasarkan alkitabiah dimulai dan diakhiri?

Catatan Kaki:
[1] Terjemahan NASB dalam ayat ini telah gagal untuk menunjukkan arti dari semula. Saya mengikuti terjemahan RSV.



Sumber Artikel : 
Bab 10, Buku Menaklukkan Segala Pikiran kepada Kristus, Penerbit Seminari Alkitab Asia Tenggara, Malang

Selasa, 12 Oktober 2010

Amazing Grace

Oleh Pdt. Budi Asali, M.Div.


I) Grace / kasih karunia.

Apakah kasih karunia itu? Kasih karunia Allah adalah sesuatu yang ada dalam diri Allah yang menyebabkan Ia memberikan sesuatu yang baik kepada kita sekalipun kita sama sekali tidak layak menerimanya.

    * Kalau kita jahat dan kita mendapat sesuatu yang tidak baik dari Allah, maka itu namanya hukuman, dan itu menunjukkan keadilan Allah.
    * Kalau kita baik dan kita mendapatkan sesuatu yang baik dari Allah, maka itu namanya pahala, dan itu juga menunjukkan keadilan Allah.
    * Kalau kita baik tetapi mendapatkan apa yang tidak baik dari Allah, itu merupakan kegilaan dan ketidak-adilan, dan itu tidak mungkin terjadi.
    * Kalau kita tidak baik, tetapi kita mendapatkan sesuatu yang baik dari Allah, maka itu disebabkan adanya kasih karunia dalam diri Allah.

Sebagai orang berdosa, kita layaknya dibuang ke dalam neraka. Kalau Allah melakukan hal itu, maka Ia adil. Tetapi adanya kasih karunia ini menyebabkan Allah bertindak lain. Allah datang ke dalam dunia dalam diri Yesus Kristus, hidup suci, menderita dan mati di kayu salib untuk memikul hukuman dosa kita. Ia melakukan semua itu supaya kita tidak perlu masuk neraka, tetapi bisa masuk ke surga.


II) Amazing / mengherankan / menakjubkan.

Apa sebabnya kasih karunia Allah itu mengherankan?

1)   Karena kita bukan hanya manusia yang berdosa, tetapi sangat berdosa.


Kalau saudara adalah orang yang merasa diri baik / saleh / suci, atau lumayan baik, maka coba perhatikan 2 hal ini:

a)  Berapa kali saudara melanggar hukum-hukum Tuhan, seperti:

·         jangan berdusta.

·         jangan membunuh.

Ingat bahwa menurut Mat 5:21-22 marah / mencaci maki sudah termasuk membunuh, dan menurut 1Yoh 3:15 benci sudah termasuk membunuh.

·         jangan ada allah lain di hadapanKu.

·         Mat 22:37 memerintahkan untuk mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi.

Setiap saat kita melanggar hukum ini karena tak ada orang yang bisa mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, akal budi.


b)  Gambaran Firman Tuhan di bawah ini tentang keadaan manusia di hadapan Allah.

Yes 64:6a - “Demikianlah kami sekalian seperti seorang najis dan segala kesalehan kami seperti kain kotor”.

Perhatikan bahwa yang mengatakan kata-kata ini adalah Yesaya, seorang nabi, yang jelas sungguh-sungguh beriman. Perhatikan juga bahwa Yesaya tidak mengatakan ‘segala dosa kami seperti kain kotor’.  Ia juga tidak mengatakan ‘sebagian kesalehan kami seperti kain kotor’. Ia mengatakan ‘segala kesalehan kami seperti kain kotor’.

Kalau segala kesalehan kita digambarkan seperti ‘kain kotor’ di hadapan Allah, bagaimana dengan dosa kita? Untuk itu mari kita melihat ayat di bawah ini.

Yeh 36:17 - “‘Hai anak manusia, waktu kaum Israel tinggal di tanah mereka, mereka menajiskannya dengan tingkah laku mereka; kelakuan mereka sama seperti cemar kain di hadapanKu”.

Dosa / kejahatan kita digambarkan seperti ‘cemar kain’. Apakah ‘cemar kain’ itu? NIV menterjemahkannya: ‘a woman’s monthly uncleanness’ (= kenajisan bulanan dari seorang perempuan).

Bandingkan juga dengan Im 15:20,24 - “(20) Segala sesuatu yang ditidurinya selama ia cemar kain menjadi najis. Dan segala sesuatu yang didudukinya menjadi najis juga. ... (24) Jikalau seorang laki-laki tidur dengan perempuan itu, dan ia kena cemar kain perempuan itu, maka ia menjadi najis selama tujuh hari, dan setiap tempat tidur yang ditidurinya menjadi najis juga”.

Untuk kata ‘cemar kain’ yang pertama (ay 20) NIV menterjemahkan ‘her period’ (= masa datang bulannya), sedangkan untuk kata ‘cemar kain’ yang kedua (ay 24) NIV menterjemahkan ‘her monthly flow’ (= aliran bulanannya).

Jadi Kitab Suci menggambarkan kesalehan kita seperti kain kotor, dan menggambarkan dosa / kejahatan kita seperti cairan yang dikeluarkan oleh seorang perempuan pada saat mengalami datang bulan!

 Kalau saudara adalah orang yang menganggap diri saudara suci atau lumayan baik, renungkan bagian ini!


2)   Karena untuk menyelamatkan kita Allah harus melakukan pengorbanan yang luar biasa.

Allah tidak bisa memasukkan kita yang berdosa ke surga begitu saja. Allah itu adil, sehingga harus menghukum setiap dosa. Kalau ada 1 dosa yang tidak pernah dihukum selama-lamanya, maka Allah kehilangan keadilanNya. Jadi, pada waktu melihat manusia yang berdosa, Allah harus menjatuhkan hukuman. Tetapi Ia tidak ingin kita terkena hukuman tersebut. Lalu bagaimana? Allah tidak bisa menyuruh manusia bertobat dari dosa dan lalu hidup baik supaya masuk surga. Mengapa? Karena:

a)  Manusia tidak bisa berbuat baik.

Ini dinyatakan secara jelas oleh Kitab Suci.

·         Kej 6:5 - “Ketika dilihat TUHAN bahwa kejahatan manusia besar di bumi dan bahwa segala kecenderungan hatinya selalu membuahkan kejahatan semata-mata, ...”.

·         Kej 8:21b - “Aku takkan mengutuk bumi ini lagi karena manusia, sekalipun yang ditimbulkan hatinya adalah jahat dari sejak kecilnya”.

·         Titus 1:15 - “Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan orang tidak beriman suatupun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis”.

·         Ro 6:20 - “Sebab waktu kamu hamba dosa, kamu bebas dari kebenaran”.


Apakah benar bahwa manusia tidak bisa berbuat baik? Tidak bisakah seseorang, pada waktu melihat orang miskin / menderita, lalu menolongnya tanpa pamrih? Tentu bisa! Lalu apakah itu bisa disebut sebagai perbuatan baik? Dalam pandangan manusia, ya! Tetapi dalam pandangan Tuhan, tidak! Mengapa? Karena dalam pandangan Tuhan, supaya suatu perbuatan bisa disebut baik, maka harus dipenuhi syarat-syarat ini:


1.   Perbuatan baik itu harus dilakukan untuk kemuliaan Allah.

1Kor 10:31 - “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah”.


2.   Perbuatan baik itu harus dilakukan karena cinta kepada Allah.

Yoh 14:15 - “Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintahKu”.


Ingat bahwa 2 hal di atas ini tak mungkin bisa dilakukan oleh orang yang ada di luar Kristus! Bdk. Ro 3:10,11,18 yang mengatakan bahwa tidak ada manusia (ini jelas menunjuk kepada manusia di luar Kristus, tanpa pekerjaan Roh Kudus dalam dirinya) yang benar, yang berakal budi, yang mencari Allah, atau yang takut kepada Allah.

Ro 3:10,11,18 - “(10) seperti ada tertulis: ‘Tidak ada yang benar, seorangpun tidak. (11) Tidak ada seorangpun yang berakal budi, tidak ada seorangpun yang mencari Allah. ... (18) rasa takut kepada Allah tidak ada pada orang itu.’”.

Manusia bisa saja berusaha berbuat baik, berjuang bagi agamanya, ingin masuk surga, dsb. Tetapi ‘mengasihi Allah’ dan ‘hidup untuk kemuliaan Allah’ adalah 2 hal yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh manusia di luar Kristus.

Kalau 2 hal di atas ini tidak dipenuhi, maka bisalah dikatakan bahwa perbuatan baik itu dilakukan tanpa mempedulikan Allah! Bisakah itu disebut baik?


b) Andaikatapun manusia bisa berbuat baik, bagaimana dengan dosa-dosa yang telah ia lakukan maupun yang akan ia lakukan? Ingat bahwa perbuatan baik tidak bisa menghapus dosa!

Kitab Suci dengan jelas menyatakan hal itu.

·         Gal 2:16a - “Kamu tahu, bahwa tidak seorangpun yang dibenarkan oleh karena melakukan hukum Taurat, tetapi hanya oleh karena iman dalam Kristus Yesus”.

·         Gal 2:21b - “... sekiranya ada kebenaran oleh hukum Taurat, maka sia-sialah kematian Kristus”.


Illustrasi: Misalnya suatu hari saudara naik kendaraan bermotor dan melanggar rambu lalu lintas, dan lalu seorang polisi menilang saudara. Saudara akan disidang 1 minggu yang akan datang. Sementara menunggu saat persidangan, saudara lalu mau ‘menebus dosa’ saudara dengan berbuat baik. Saudara menghibur tetangga yang kesusahan, membelikan obat untuk tetangga yang sakit, dsb. Pada saat persidangan, hakim bertanya: Apakah saudara, pada tanggal ini, di jalan ini, melanggar rambu lalu lintas ini? Saudara lalu menjawab: Benar Pak Hakim, tetapi, saya sudah menebus dosa dengan berbuat baik. Ini ada 3 saksi yang menerima kebaikan saya. Sekarang pertanyaannya: kalau hakim itu waras, apakah orang itu akan dibebaskan dari hukuman?

Illustrasi ini jelas menunjukkan bahwa ditinjau dari sudut hukum dunia / negarapun, tidak mungkin perbuatan baik bisa menutup dosa!


Allah tahu akan hal ini (yaitu bahwa manusia tidak bisa selamat karena perbuatan baiknya), tetapi Ia mau menyelamatkan manusia yang berdosa itu. Lalu bagaimana caranya? Allah harus mencari seseorang pengganti dalam memikul hukuman itu. Tetapi siapa penggantinya? Tidak mungkin seorang manusia biasa, karena semua manusia berdosa. Tidak mungkin juga malaikat, karena tidak adil kalau manusia yang berdosa, malaikat yang dihukum. Jadi, harus Allah sendiri yang menjadi manusia dan memikul hukuman itu. Dan inilah yang telah Allah lakukan. Ia menjadi manusia dalam diri Tuhan Yesus Kristus, dan lalu menderita dan mati di kayu salib untuk menggantikan kita memikul hukuman yang seharusnya bagi kita.

Sedangkan penderitaan dan kematian yang dialami oleh Yesus Kristus pada waktu menggantikan kita memikul hukuman kita adalah begitu mengerikan dan hina. Mari kita menyoroti beberapa diantaranya:

1.  Kristus dicambuki.

Untuk bisa mengerti lebih baik tentang hebatnya penderitaan Kris­tus pada waktu disesah, mari kita lihat komentar-komentar di bawah ini.

Leon Morris (NICNT): “Scourging was a brutal affair. It was inflicted by a whip of several thongs, each of which was loaded with pieces of bone or metal. It could make pulp of a man’s back” (= Pencambukan adalah suatu peristiwa yang brutal. Hal itu diberikan dengan sebuah cambuk yang terdiri dari beberapa tali kulit, yang masing-masing diberi potongan-potongan tulang atau logam. Itu bisa membuat punggung seseorang menjadi bubur).

Leon Morris (NICNT): “... Josephus tells us that a certain Jesus, son of Ananias, was brought before Albinus and ‘flayed to the bone with scourges’ ... Eusebius narrates that certain martyrs at the time of Polycarp ‘were torn by scourges down to deep-seated veins and arteries, so that the hidden contents of the recesses of their bodies, their entrails and organs, were exposed to sight’ ... Small wonder that men not infrequently died as a result of this torture” (=  Josephus menceritakan bahwa seorang Yesus tertentu, anak dari Ananias, dibawa ke depan Albinus dan ‘dikuliti sampai tulangnya dengan cambuk’ ... Eusebius menceritakan bahwa martir-martir tertentu pada jaman Polycarp ‘dicabik-cabik oleh cambuk sampai pada pembuluh darah dan arteri yang ada di dalam, sehingga bagian dalam yang tersembunyi dari tubuh mereka, isi perut dan organ-organ mereka, menjadi terbuka dan kelihatan’ ... Tidak heran bahwa tidak jarang orang mati sebagai akibat penyiksaan ini).

William Hendriksen: “The Roman scourge consisted of a short wooden handle to which several thongs were attached, the ends equipped with pieces of lead or brass and with sharply pointed bits of bone. The stripes were laid especially on the victim’s back, bared and bent. Generally two men were employed to administer this punishment, one lashing the victim from one side, one from the other side, with the result that the flesh was at times lacerated to such an extent that deep-seated veins and arteries, sometimes even entrails and inner organs, were exposed. Such flogging, from which Roman citizens were exempt (cf Acts 16:37), often resulted in death” [= Cambuk Romawi ter­diri dari gagang kayu yang pendek yang diberi beberapa tali kulit, yang ujungnya dilengkapi dengan potongan-potongan timah atau kuningan dan potongan-potongan tulang yang diruncingkan. Pencambukan diberikan terutama pada punggung korban, yang ditelanjangi dan dibungkuk­kan. Biasanya 2 orang dipekerjakan untuk melaksanakan hukuman ini, yang seorang mencambuki dari satu sisi, yang lain mencambuki dari sisi yang lain, dengan akibat bahwa daging yang dicambuki itu kadang-kadang koyak / sobek sedemikian rupa sehingga pembuluh darah dan arteri yang terletak di dalam, kadang-kadang bahkan isi perut dan organ bagian dalam, menjadi terbuka / terlihat. Pencambukan seperti itu, yang tidak boleh dilakukan terhadap warga negara Romawi (bdk. Kis 16:37), sering berakhir dengan kematian].

William Barclay: “Roman scourging was a terrible torture. The victim was stripped; his hands were tied behind him, and he was tied to a post  with his back bent double and conven­iently exposed to the lash. The lash itself was a long leather thong, studded at intervals with sharpened pieces of bone and pellets of lead. Such scourging always preceded crucifixion and ‘it reduced the naked body to strips of raw flesh, and inflamed and bleeding weals’. Men died under it, and men lost their reason under it, and few remained conscious to the end of it” [= Pencambukan Romawi adalah suatu penyiksaan yang hebat. Korban ditelanjangi, tangannya diikat kebelakang, lalu ia diikat pada suatu tonggak dengan pung-gungnya dibungkukkan sehingga terbuka terhadap cambuk. Cambuk itu sendiri adalah suatu tali kulit yang panjang, yang ditaburi dengan potongan-potongan tulang dan butiran-butiran timah yang runcing. Pencambukan seperti itu selalu mendahului penyaliban dan ‘pencam-bukan itu men­jadikan tubuh telanjang itu menjadi carikan-carikan daging mentah, dan bilur-bilur yang meradang dan berda­rah’. Ada orang yang mati karenanya, dan ada orang yang kehilangan akalnya (menjadi gila?) karenanya, dan sedi­kit orang bisa tetap sadar sampai akhir pencambukan].

Saudara adalah orang berdosa dan karena itu sebetulnya saudaralah yang seharusnya mengalami hukuman cambuk itu. Tetapi Kristus sudah mengalami pencambukan itu supaya saudara bebas dari hukuman Allah, asal saudara mau percaya dan menerima Dia sebagai Juruselamat dan Tuhan saudara. Sudahkah saudara menerima Dia?


2.  Kristus disalibkan.

Pulpit Commentary: “Nails were driven through the hands and feet, and the body was supported partly by these and partly by a projecting pin of wood called the seat. The rest for the feet, often seen in picture, was never used” (= Paku-paku menembus tangan dan kaki, dan tubuh disangga / ditopang sebagian oleh paku-paku ini dan sebagian lagi oleh sepotong kayu yang menonjol yang disebut ‘tempat duduk’. Tempat pijakan kaki, yang sering terlihat dalam gambar, tidak pernah digunakan).


Barnes’ Notes: “The manner of the crucifixion was as follows: - After the criminal had carried the cross, attended with every possible jibe and insult, to the place of execution, a hole was dug in the earth to receive the foot of it. The cross was laid on the ground; the persons condemned to suffer was stripped, and was extended on it, and the soldiers fastened the hands and feet either by nails or thongs. After they had fixed the nails deeply in the wood, they elevated the cross with the agonizing sufferer on it; and, in order to fix it more firmly in the earth, they let it fall violently into the hole which they had dug to receive it. This sudden fall must have given to the person that was nailed to it a most violent and convulsive shock, and greatly increased his sufferings. The crucified person was then suffered to hang, commonly, till pain, exhaustion, thirst, and hunger ended his life” (= Cara penyaliban adalah sebagai berikut: - Setelah kriminil itu membawa salib, disertai dengan setiap ejekan dan hinaan yang dimungkinkan, ke tempat penyaliban, sebuah lubang digali di tanah untuk menerima kaki salib itu. Salib diletakkan di tanah; orang yang diputuskan untuk menderita itu dilepasi pakaiannya, dan direntangkan pada salib itu, dan tentara-tentara melekatkan tangan dan kaki dengan paku atau dengan tali. Setelah mereka memakukan paku-paku itu dalam-dalam ke dalam kayu, mereka menaikkan / menegakkan salib itu dengan penderita yang sangat menderita padanya; dan, untuk menancapkannya dengan lebih teguh di dalam tanah, mereka menjatuhkan salib itu dengan keras ke dalam lubang yang telah digali untuk menerima salib itu. Jatuhnya salib dengan mendadak itu pasti memberikan kepada orang yang disalib suatu kejutan yang keras, dan meningkatkan penderitaannya dengan hebat. Orang yang disalib itu lalu menderita tergantung, biasanya, sampai rasa sakit, kehabisan tenaga, kehausan, dan kelaparan mengakhiri hidupnya).

Sekali lagi saya tekankan seperti diatas. Saudara adalah orang berdosa, dan sebetulnya saudaralah yang mengalami penyaliban yang mengerikan ini. Tetapi Kristus sudah mengalami penyaliban ini supaya saudara bebas dari hukuman Allah, asal saudara mau percaya dan menerima Dia sebagai Juruselamat dan Tuhan saudara. Sudahkah saudara percaya dan menerimaNya?

Satu hal yang harus dihindari dalam menanggapi apa yang Kristus lakukan / alami bagi kita ialah: sekedar / hanya merasa kasihan kepada Dia. Pada waktu Yesus memikul salib keluar kota, terjadi peris­tiwa yang diceritakan dalam Luk 23:27-32, dimana banyak perempuan menangisi dan meratapi Dia, tetapi lalu justru ditegur oleh Yesus.

Pulpit Commentary mengomentari bagian ini dengan berkata: “He does not want our pity. This would be a wasted and mistaken sentiment” (= Ia tidak membutuhkan / menghendaki belas kasihan kita. Ini adalah suatu perasaan yang sia-sia dan salah).

Kalau saudara mempunyai perasaan kasihan kepada Kristus, tetapi tidak percaya kepada Kristus, saudara sudah ditipu oleh setan. Dengan adanya perasaan kasihan itu saudara seakan-akan adalah orang yang pro Yesus, tetapi ketidakpercayaan saudara membuktikan bahwa saudara tetap anti Yesus! Karena itu janganlah sekedar merasa kasihan kepada Yesus, tetapi datanglah kepadaNya dan percayalah dan terimalah Dia sebagai Tuhan dan Juruselamat saudara!


3)   Kita bukan hanya dibebaskan dari hukuman kekal di neraka, tetapi kita dimasukkan ke surga!

Sekarang kita soroti lagi 3 hal di atas yang menyebabkan kita harus menganggap kasih karunia Allah itu mengherankan.

1)   Kita adalah orang-orang yang sangat berdosa.

Seandainya kita berdosa sedikit-sedikit maka mungkin kasih karunia Allah itu tidak terlalu mengherankan. Tetapi kita sangat berdosa!

2) Allah, dalam diri Tuhan Yesus Kristus, harus mengalami penderitaan yang luar biasa, kehinaan yang sangat dalam, untuk bisa menyelamatkan kita.

Seandainya untuk menyelamatkan kita Yesus hanya perlu dicubit 1 x, maka mungkin kasih karunia Allah itu tidak terlalu mengherankan. Tetapi Ia harus mengalami semua penderitaan itu, untuk orang-orang yang sangat berdosa, itu betul-betul luar biasa.

3)  Allah menyediakan surga bagi kita.

Seandainya Ia hanya menghukum kita secara ringan, atau membebaskan kita dari neraka, lalu menempatkan kita di tempat dimana kita pokoknya tidak menderita, atau hanya memberikan berkat-berkat jasmani / duniawi saja, maka mungkin kasih karunia Allah itu tidak terlalu mengherankan. Tetapi Ia menyediakan surga bagi kita.

Gabungan 3 hal ini, menyebabkan kasih karunia Allah itu sangat mengherankan!

Tetapi lagi-lagi, jangan hanya heran, takjub terhadap kasih karunia Allah itu. Allah tak menghendaki saudara hanya heran / takjub! Ia menghendaki saudara percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saudara, karena tanpa itu saudara tidak akan bisa diselamatkan / masuk surga. maukah saudara percaya kepada Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saudara?

 -AMIN-


Source : http://golgothaministry.org/pi2/pi_amazinggrace.htm

Nasionalisme Dan Pluralisme Global

Oleh Pdt. Dr. Stephen Tong

Munculnya nasionalisme yang tidak cerdas, dan tudingan miring terhadap pluralisme yang merupakan pilar penting bagi demokrasi adalah persoalan yang tidak mudah untuk diselesaikan. Pemikiran Pdt. Dr. Stephen Tong memberikan pencerahan dalam menyelesaikan problematika tersebut.

Mengapa banyak orang dari berbagai negara datang ke Bali? Apakah karena Bali memiliki ciri khas terlalu internasional? Justru karena Bali tidak ada ciri khas internasional, tetapi ciri khas Bali: “The more you are national, the more you will become international,” makin nasional makin menjadi internasional.

Memiliki ciri khas mestinya bukan sesuatu yang menakutkan, dan juga tidak otomatis menjadi musuh daripada global. Keduanya bisa harmonis: saling menguatkan antara yang besar dan yang kecil, yang minor dengan yang mayor, yang global dan yang lokal. Plato, 2400 tahun yang lalu pernah berkata, jikalau seseorang mengetahui apa yang besar, apa yang kecil, besarkan yang besar, kecilkan yang kecil, utamakan yang utama, tidak utamakan yang tidak utama, dan merelasikan besar sama besar, kecil sama kecil, kecil sama besar, besar sama kecil, aku akan ikut orang itu sampai mati. Ini adalah filsafat untuk seluruh dunia, bukan hanya untuk satu negara, juga bukan untuk satu agama, dan bukan untuk satu masyarakat.

Swiss itu satu negara, bangsa Swiss itu bangsa Swiss, tetapi bangsa Indonesia bukan hanya bangsa Jawa, melainkan bangsa suku-suku, bangsa dengan begitu banyak etnik, sehingga Indonesia adalah PBB kecil. Jika Indonesia mempunyai negarawan yang berjiwa nasionalis yang betul-betul memiliki jiwa besar, kemudian mengelola dan membuat bangsa ini penuh dengan damai, maka semua pemimpin di PBB harus belajar kepada orang di Indonesia. Berapa banyak benih nasional yang berjiwa besar di Indonesia seperti Gus Dur? Berapa banyak orang yang masih mempunyai kemurnian jiwa nasional di Indonesia?

Sayangnya yang terjadi di Indonesia seperti apa yang dikatakan oleh Samuel Johnson, yang dijuluki singa literatur Inggris: “Nasionalisme adalah tempat perlindungan terakhir bagi bajingan-bajingan di dalam politik.” Orang memakai nasionalisme untuk menopengi diri, tetapi hatinya tidak mencintai rakyat. Itu adalah musuh dalam selimut, lebih besar daripada semua musuh internasional yang pernah ada.

Jika umat Kristen berada pada posisi mayoritas, dan memiliki pengaruh untuk menentukan kebijakan yang terkait dengan orang-orang yang beragama lain, maka orang Kristen harus memberikan ruang bagi ekspresi keagamaan umat beragama lain. Pribadi yang berjiwa besar selalu memelihara, memproteksi dan menghargai minoritas.

Jikalau satu pemerintah tidak memiliki jiwa besar, tak mungkin pemerintah menoleransi yang minoritas. Minoritas tidak boleh ditekan, ditindas, dihina, atau direbut kuasanya. Minoritas harus diberi pengertian, kasih, perhatian, supaya mereka dirangkul sebagai suatu bagian milik dari sebuah negara yang besar. Biarlah semua orang yang berada di negara itu mempunyai hak untuk ikut campur di dalam pembuatan sistem di dalam pemilihan dan pembatasan terhadap penguasa.

Negara besar harus berhati besar, kalau umat Kristen menjadi mayoritas, umat Kristen tidak boleh menelan, merebut hak kebebasan umat beragama lain. Kita harus menghormati umat beragama lain. Ini adalah the fairness of being a leader of a government. Umat Kristen harus hidup berkeadilan sosial.

Karena itu tidak perlu malu dilahirkan dalam agama apapun. Tidak ada salahnya memilih agama. Demikian juga tidak perlu malu dilahirkan dari suku apapun, manusia tidak bisa memilih suku. Nothing wrong to be born as a Chinese, as a Bataknese, as an Ambonese, tidak salah dilahirkan sebagai suku apapun, tapi jiwa kita harus melintasi suku, adat, dan keterbatasan kultur. Itu akan menjadikan kita berjiwa global, berjiwa internasional. Karena yang disebut nasional adalah ciri khas yang tidak bisa kita tolak.

Orang Kristen bersama-sama dengan non-Kristen wajib menjaga perdamaian dunia, kerukunan umat beragama, dan etika agar moral masyarakat tidak semakin rusak. Orang Kristen bersama dengan orang yang bukan Kristen berada dalam satu dasar bersama, common ground, yaitu sebagai ciptaan Tuhan yang sama, memiliki hati nurani, serta memiliki pengertian tentang nilai-nilai moral, meskipun standarnya berbeda. Kerjasama ini bisa memperbaiki dunia dan mengubah kebudayaan manusia.

Kehadiran pemerintah, hati nurani, sekolah, pendidikan, kebudayaan, semuanya itu membuktikan adanya kekuatan anugerah umum (common grace) Tuhan yang berada di belakang layar. Sepertinya manusia yang bekerja, padahal semua itu adalah pemeliharaan (providensia) Allah. Anugerah umum membuat seluruh alam semesta khususnya sistem masyarakat bisa menjadi satu penopang untuk tidak mengakibatkan kemarahan Tuhan yang terlalu cepat untuk tiba.

Anugerah umum menyatakan keagungan, kebesaran, kesabaran, dan kelimpahan anugerah Tuhan untuk menopang dunia. Melalui anugerah umum itu Allah memberkati manusia yang adalah ciptaan-Nya, memberikan kebutuhan jasmaniah secara material kepada semua manusia. Dan itu juga merupakan penyertaan, pemberian kecukupan dari Tuhan untuk menopang hidup seluruh manusia. Doktrin anugerah umum ini mendasari kerjasama Kristen yang jujur dan tulus dengan umat beragama lain tanpa harus jatuh pada sinkretisme agama yang menafkan identitas agama-agama yang beragam.

Orang Kristen bisa bekerjasama untuk menolong orang miskin, membicarakan tentang keadilan, meskipun konsep keadilan tersebut pasti berbeda, tetapi ada konsep-konsep yang adalah anugerah Tuhan, supaya kita bisa rukun, bisa saling menghormati, di dalam hal itu kita harus mengerti bagaimana bekerja sama. Tapi, tidak ada kemungkinan untuk memimpin pada kesamaan, agama-agama itu adalah berbeda, dan memiliki konsep keselamatan yang berbeda. Kita memiliki kesamaan dengan umat agama lain karena berada di dalam bidang yang sama, namun waktu menuntaskan defnisi, tetap tidak sama. Karena itu orang Kristen menerima pluralisme agama yang bersifat non-indifference. Pluralisme yang tak menafikan keunikan agama-agama.

Bagi orang Kristen, respon yang diberikan kepada Tuhan disertai dengan pertolongan dari anugerah keselamatan (saving grace). Sehingga anugerah umum bisa dikoreksi. Ini adalah salah satu keunikan substantif orang Kristen dibandingkan dengan agama lain.

Empedokles, flsuf Yunani 2500 tahun yang lalu menerangkan, hanya dua unsur yang mengubah seluruh dunia. Unsur pertama mempersatukan, unsur kedua menceraiberaikan. Unsur yang mempersatukan itu unsur kasih, unsur yang menceraiberaikan itu unsur benci. Siapa musuh kita? Musuh kita bukan seperti apa yang dinilai oleh manusia. Rusia mengatakan Amerika musuh, Amerika mengatakan Rusia musuh. Islam mengatakan Kristen musuh, Kristen mengatakan Islam musuh. Tidak. Musuh kita justru adalah kebencian yang ada di dalam hati kita.

Orang Islam yang jujur lebih dari orang Kristen yang palsu yang bukan orang Kristen sejati. Ada pendeta palsu dan ada Muslim palsu. Pendeta yang benar dan baik dengan Muslim yang baik menerima anugerah umum yang agak dekat dibandingkan dengan orang Kristen palsu. Kerjasama orang Kristen yang sejati dan Muslim sejati, dan juga umat beragama lain merupakan kunci bagi penyelesaian semua problematika yang menjadi pergulatan bangsa ini. 



(Disarikan dari ulasan Pdt. Dr. Stephen Tong di beberapa seminar)


Sumber : http://www.reformed-crs.org/

Sabtu, 02 Oktober 2010

Dosa dan Keterhilangan

Oleh Pdt. Dr. Stephen Tong
Juli 1989


Artikel ini diterjemahkan dari teks ceramah berbahasa Inggris yang disampaikan dalam sidang pleno Lausanne II, di mana pembicara adalah satu-satunya wakil Asia Tenggara yang memimpin sidang pleno dalam Kongres di Manila ini.

Dosa Adalah Fakta
Tidak menyadari adanya bahaya merupakan bahaya yang lebih besar daripada bahaya itu sendiri. Demikian juga kemasabodohan dan kesalahmengertian mengenai dosa adalah berbahaya seperti dosa itu sendiri.

Tuhan tidak membagi manusia ke dalam dua kategori ketika Ia berkata, “Aku datang bukan untuk memanggil yang benar, tapi yang berdosa untuk bertobat.” Ini hanya sebuah ironi untuk orang berdosa yang tidak sadar akan keadaan mereka yang berdosa itu. Alkitab mengajar dengan jelas bahwa dosa adalah fakta yang dibukakan oleh Allah yang benar kepada manusia yang berdosa. Namun kesulitannya terletak pada bagaimana orang berdosa dapat mengerti dengan tepat akan keberdosaannya. Karena dosa juga telah merusak pada aspek pengertian manusia. Itulah alasan mengapa Alkitab terus menerus mengajarkan bahwa satu-satunya jalan untuk menjadi sadar mengenai dosa manusia adalah melalui iluminasi Roh Kudus.

Sejak zaman Renaissance pandangan dunia yang anthroposentris mengenai manusia alami telah mencoba untuk mengintepretasikan ‘Allah’ dan ‘jiwa’ melalui diri manusia sendiri yang berdosa sebagai titik pusat dari alam semesta. Dengan menjunjung tinggi rasio sebagai alat mutlak untuk menemukan kebenaran dan menganggap natur sebagai tujuan akhir dari hasil yang dicapai untuk memecahkan semua problem manusia. Tapi sejarah menyatakan kesaksian yang jujur mengenai kegagalan manusia. Di bawah segala pencapaian hasil dangkal dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, psikologi, filsafat, dan bahkan agama, ada penyebab, yang nyata dan konsisten, dari ketidakseimbangan dan masalah-masalah.

Lingkungan kita padat dengan jiwa-jiwa yang kosong sementara berlimpah materi, penuh kekuatiran akan perang sementara pembicaraan mengenai perdamaian tidak berhenti, penuh dengan ketidakamanan sementara dihasilkan senjata-senjata yang tercanggih. Bertambahnya angka bunuh diri sementara tersedia alat kehidupan yang lebih baik; kehancuran keluarga meningkat sementara kebebasan sex dan percintaan makin meluas. Kita sedang bermimpi dari Renaissance sampai abad 20 mengenai otonomi manusia yang lepas dari campur tangan Allah. Khususnya sejak abad 19, begitu banyak ideologi yang muncul untuk menciptakan satu optimisme modern yang naif, termasuk theologi liberal, evolusionisme dan komunisme. Semua ini gugur pada perang-perang yang menakutkan dalam abad 20. Demikian juga dengan revolusi internasional, politik, komunisme dan politik nasional, dan filsafat eksistentialisme. Semua mencoba untuk memecahkan persoalan manusia tapi sekarang kita tetap hidup dalam situasi kacau, tanpa tahu ke mana tujuan sejarah ini. Bagi zaman ini masalah intinya adalah mencari identitas manusia. Kita tetap berjuang untuk demokrasi, kebebasan, keadilan dan hak-hak manusia. Tidakkah ini tetap mengatakan kepada kita bahwa dosa dan keterhilangan adalah fakta yang tidak dapat disangkal? Tidak heran kalau Karl Barth berjuang melawan 2 profesor liberalnya, Adolf von Harnack dan William Hermann, yang mengajarkan persaudaraan umat manusia pada satu sisi, dan di sisi yang lain menyetujui invansi Jerman. Tidak heran bila pemimpin liberal Dr. Fosdick harus mengakui bahwa kaum liberal telah mengabaikan pengajaran atas dosa, yang begitu konkrit, dan kaum konservatif lebih mengerti akan hal ini. Tidak heran bila Niebuhr harus menekankan kembali kepada pengajaran yang alkitabiah untuk mengerti dosa seperti yang dinyatakan oleh perang dunia, dalam bukunya The Nature and Destiny of Man. Ini juga menjadi alasan yang sama mengapa Tillich menulis dalam buku hariannya, dalam khotbahnya – untuk kaum militer dalam perang dunia yang pertama, “Saya tidak melihat kehancuran dari gedung-gedung dihadapanku, tapi kehancuran dari kebudayaan.” Kebudayaan kita tampaknya mati, bahkan Rusia dan Tiongkok setelah kemenangan mereka atas sistem politik yang lama dan setelah menjalankan komunisme untuk beberapa dekade, para pemimpin mereka merasa pentingnya suatu pembaharuan. Mereka tetap menghadapi banyak kesulitan untuk berjuang melawan diri sendiri.

Konsep yang Salah Mengenai Dosa
Meskipun manusia mencoba untuk lari dari fakta dosa, menawarkan dan menafsirkan ulang, manusia tetap tidak akan pernah dapat melarikan diri dari pernyataan Allah mengenai dosa dalam Alkitab. Alkitab mengajarkan dengan jelas bahwa dosa dimulai dari sejarah kejatuhan Adam, manusia pertama dan wakil dari umat manusia, dan kemudian memasuki dunia. Sebelum kita berpikir mengenai pengertian dosa, pertama mari kita melihat konsep yang keliru mengenai dosa.

Pertama, Alkitab tidak memberikan satu tempatpun bagi konsep pra-eksistansi kekal dari dosa. Dosa bukan suatu keberadaan kekal yang ada dengan sendirinya. Juga dosa maupun kejahatan bukan realitas yang berdiri sendiri. Demikian juga Iblis dan kuasa-kuasa kejahatan. Tidak ada apapun dan siapapun, hanya Allah sendiri yang ada dengan sendirinya dan merupakan realitas yang kekal. Hanya Allah yang tanpa awal dan akhir. Alkitab langsung menolak ontologi dualisme dalam agama.

Kedua, Alkitab tidak memberikan tempat bagi konsep bahwa dosa diciptakan atau sumber dari kejahatan. Kata "kejahatan" dalam Yesaya 45:7 (dalam terjemahan versi King James) harus dimengerti sebagai hukuman Allah dalam sejarah, sebagai manifestasi dari kebenaran dan pemerintahan-Nya kepada dunia yang berdosa, tapi bukan kejahatan secara ontologi ataupun moral.

Ketiga, Alkitab tidak memberikan tempat untuk Allah dipandang bertanggung jawab atas dosa. Mengenai hal ini, satu hal yang dapat kita lihat dari Alkitab adalah satu izin yang misterius untuk munculnya kejahatan sebagai akibat dari salah penggunaan akan kebebasan yang diciptakan di dalam makhluk-makhluk rohani, yang juga menjadi aspek dari gambar dan rupa Allah dan juga menjadi fondasi penting bagi moralitas, tetapi yang harus dipertanggungjawabkan pada keadilan dan penghakiman Allah.

Maka dosa muncul dari ciptaan sendiri. Sebagai ciptaan dari yang dicipta untuk melawan Pencipta mereka. Dalam hal ini, Yesus berkata, “Apabila ia berkata dusta, ia berkata atas kehendaknya sendiri, sebab ia adalah pendusta dan bapa segala dusta.” (Yohanes 8:44).

Apakah Dosa Itu?
Sekarang kita memikirkan tentang dosa. Alkitab mengajarkan bahwa dosa lebih dari sekadar kegagalan etika. Untuk menyatakan dosa dengan sesuatu yang tidak tepat hanya mendangkalkan arti dosa itu.

Pertama, berbicara secara philologi, dosa berarti “tidak mencapai target.” Perjanjian Baru menggunakan kata hamartia untuk mengindikasikan bahwa manusia diciptakan dengan sebuah standar atau target sebagai tujuan dan arah hidup. Ini berarti kita harus bertanggung jawab kepada Allah. Ketika dosa datang, kita gagal untuk mencapai standar Allah. Setelah kejatuhan manusia, pandangan manusia mengenai target kehidupan menjadi kabur dan kehilangan kriteria arah hidup. Inilah alasan Allah untuk mengutus Anak-Nya untuk kembali menunjukkan standar itu dan menjadikan Dia sebagai kebenaran dan kesucian kita. Tujuan hidup manusia hanya dapat ditemukan kembali melalui contoh sempurna dari Kristus yang berinkarnasi.

Kedua, berbicara dari sudut posisi, dosa adalah satu perpindahan dari status yang mula-mula. Manusia diciptakan berbeda, dalam perbedaan posisi, dengan tujuan untuk menjadi saksi Allah, diciptakan antara Allah dan Iblis, baik dan jahat. Setelah kejatuhan setan, manusia diciptakan dalam kondisi netral dari kebaikan, yang dapat dikonfirmasikan melalui jalan ketaatan, diciptakan sedikit lebih rendah dari Allah tapi mempunyai dominasi atas alam, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Ketaatan yang benar dari manusia di hadapan pemerintahan Allah adalah rahasia untuk mengatur alam, dan untuk mencapai tujuan benar dari kemuliaan natur pencipta dalam hidup manusia. Segala pencobaan datang kepada manusia selalu dalam usaha mencoba untuk membawa manusia jauh dari posisi rencana Allah yang mula-mula. Kemudian datang kekacauan. Hal yang sama terjadi juga kepada malaikat tertinggi ata Alkitab mengatakan, “Mereka tidak mempertahankan status mereka yang pertama” untuk menjelaskan kejatuhan mereka. Inilah satu konsep yang benar dalam mengerti mengenai dosa.

Ketiga, dosa adalah penyalahgunaan kebebasan. Penghormatan terbesar dan hak istimewa yang Allah berikan kepada manusia adalah karunia kebebasan. Kebebasan menjadi satu faktor yang tidak bisa ditawar-tawar lagi sebagi fondasi dari nilai moral. Hasil moral hanya dapat berakar dalam kerelaan, tidak lahir karena paksaan. Arti kebebasan mempunyai dua pilihan: hidup berpusatkan Allah atau hidup berpusatkan diri sendiri. Ketika manusia menaklukkan kebebasannya di bawah kebebasan Allah, itulah pengembalian kebebasan kepada pemilik kebebasan yang mula-mula. Jenis pengembalian ini mencari kesukacitaan dari kebebasan dalam batasan kebenaran dan kebaikan Allah. Sejak Allah adalah realita dari kebaikan itu sendiri, segala macam pemisahan dari-Nya akan menyebabkan keburukan, dan juga hidup berpusatkan diri sendiri jelas penyebab dosa. Terlalu berpusat pada diri sendiri akan menjadi awal ketidakbenaran. Kebebasan tanpa batas dari kebenaran Allah akan menjadi kebebasan yang salah. Bukanlah suatu kebebasan yang dimaksudkan Yesus ketika Ia berkata, “Tidak seorangpun dapat mengikuti Aku tanpa menyangkal dirinya sendiri.”

Keempat, dosa adalah kuasa yang menghancurkan. Dosa tidak hanya gagal dalam pengaturan tapi lebih dari itu adalah kuasa yang mengikat terus menerus yang tinggal dalam orang berdosa. Paulus menggunakan bentuk tunggal dan bentuk jamak dari dosa dalam kitab Roma. Bentuk jamak dari dosa mengindikasikan perbuatan-perbuatan salah, tapi bentuk tunggal dari dosa berarti kuasa yang mengarahkan segala perbuatan dosa. Paulus mempersonifikasikan dosa sebagai kuasa yang memerintah dan prinsip yang mengatur kehidupan orang berdosa. Ia juga merusak semua aspek kehidupan kepada satu tingkatan di mana tidak ada satu aspek kehidupan pun yang tidak kena distorsi atau polusi. Inilah yang ditekankan dan dijelaskan Reformator. Berjuang melawan pengertian tidak lengkap mengenai kuasa dosa dalam Scholastisisme abad pertengahan. Dosa tidak hanya mencemarkan aspek kehendak, tapi juga berpenetrasi pada aspek emosi dan rasio. Tujuan utama dari kuasa penghancur ini untuk menyebabkan manusia menghancurkan diri sendiri dan membunuh diri sendiri seperti yang dikatakan Kierkegaard, bahwa manusia dilahirkan dalam dosa. Satu-satunya kuasa yang kita miliki adalah kuasa untuk membunuh kita sendiri.

Kelima, dosa adalah penolakan terhadap kehendak Allah yang kekal. Akibat utama dari dosa tidak hanya merusak manusia tapi juga melawan kehendak Allah yang kekal melalui manusia. Inilah hal yang paling serius yang berhubungan dengan kesejahteraan rohani semesta. Calvin mengatakan, “Tiada yang lebih besar daripada kehendak Allah kecuali Allah sendiri.” Ciptaan alam semesta, keselamatan umat manusia dan kebahagiaan kekal semua ada oleh kehendak Allah. Sejak dosa menolak terhadap kehendak Allah maka orang Kristen harus sadar pentingnya ketaatan yang setia kepada kehendak Allah. Seperti Kristus mengajarkan murid-murid-Nya untuk berdoa, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di surga.” Alkitab juga mengajarkan kita dalam 1Yohanes 2:17, bahwa dunia ini sedang lenyap dengan keinginannya tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap hidup selama-lamanya.

Dosa dan Relasi Alam Semesta
Dosa tidak berhenti sebagai peristiwa saja tetapi terjadi perusakan yang lebih lanjut dalam orang berdosa dan menganggu seluruh susunan alam semesta. Dosa menghancurkan hubungan-hubungan baik secara pribadi maupun semesta, termasuk hubungan Allah dengan manusia, manusia dengan manusia. Dalam suatu pengertian yang lebih dalam, dosa juga menghancurkan hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu dosa membuat mustahilnya hidup harmonis, tapi yang paling dalam adalah rusaknya hubungan manusia dengan Allah. Dari hak mula-mula yang kita miliki, kita diciptakan lebih tinggi dari alam. Alam diciptakan untuk manusia. Berarti manusia menikmati, menyukai, mengatur, memelihara dan menafsirkan alam dalam menjalankan fungsi kenabiannya. Tapi dosa telah membalikkan manusia sebagai penghancur, musuh, bahkan penghancur alam. Menyelidiki alam dan menemukan kebenaran Allah yang tersembunyi di dalamnya adalah dasar ilmu pengetahuan, tetapi sejak timbulnya dosa, ilmu pengetahuan gagal untuk berfungsi sebagai alat untuk memuliakan Allah dan berbalik kepada kemungkinan digunakan sebagai alat setan untuk menghancurkan Allah dan manusia. Sebagai akibat rusaknya hubungan antar manusia, manusia kehilangan potensi untuk merefleksikan kasih dari Allah Tritunggal, yang menjadi model bagi komunitas manusia. Saling menghargai atau menghormati, saling percaya, saling melengkapi adalah ketidakmungkinan dalam masyarakat kita. Sebaliknya kita melihat pemutlakan dari setiap individu sendiri untuk menolak orang lain dengan hidup berpusat pada diri sendiri yang menyebabkan tekanan dan sakit hati yang tanpa akhir dalam komunitas kita bahkan dalam hubungan internasional. Sebagai akibat dari hancurnya hubungan antara manusia dan diri sendiri, manusia menjadi musuhnya sendiri. Ia kehilangan semua damai rohani, perlindungan kekal, dan keyakinan akan arti hidup. Dan selanjutnya keberadaan manusia jadi sebuah pulau yang terisolasi dalam alam semesta, keberadaan yang lain menjadi neraka yang menyiksa dan kenihilan tampaknya sebagai suatu yang ada, yang menelan keberadaan kita ke dalam kenihilan. Semua terefleksi dalam eksistensialis atheistik modern.

Pemutusan hubungan yang paling serius dalam hubungan antara manusia dengan Allah, menjadi penyebab putusnya hubungan-hubungan yang lain. Ketika manusia dipisahkan dari Allah menjadi tanda tidak lagi ada relasi lain yang dapat diperbaiki. Tertutup semua kemungkinan damai tiap pribadi dalam roh dan damai universal di bumi. Seluruh abad 20 adalah ladang pelaksana dari ideologi abad 19 dan kita lihat tidak ada pengharapan sejati bagi masa depan kita, juga sekarang dalam dekade akhir dari abad ini. Kita tetap menghadapi ketidaktahuan akan kemungkinan masadepan. Tidakkah kini waktu yang tepat dibandingkan waktu lain untuk berpikir ulang dengan mendalam dan dengan tenang mengadakan evaluasi ulang? Segala kelemahan dari theologi yang muncul dari humanisme anthroposentris.

Alkitab mengatakan Allah adalah Kasih, Allah adalah Hidup, Allah adalah Terang. Ia juga Allah dari Kebenaran, Kebaikan dan Kesucian. Apa model lingkungan yang kita miliki jika kita terpisah dari Allah yang sedemikian seperti yang dinyatakan dalam Kristus? Hanya satu kemungkinan yang tersedia bagi kita yaitu kebencian, kematian, kegelapan, penipuan, ketidakadilan, dan kerusakan-kerusakan yang jelas kita lihat pada zaman ini. Tidakkah kita harus mengakui bahwa ada gap besar antara mandat kultural Allah kepada manusia dengan hasil kultural yang dicapai manusia? Itulah dosa!

Dosa dan Keterhilangan
Akibat dari keterpisahan dari Allah jelas memimpin keberadaan orang berdosa ke dalam status keterhilangan, terhilang dari dukungan dan kehadiran Allah.

Pertama, dosa menyebabkan manusia tidak memenuhi kemuliaan Allah. Konsep Agustinus bahwa dosa sebagai kekurangan, harus lebih dimengerti sebagai akibat dosa dalam manusia daripada penafsiran mengenai dosa itu sendiri. Ketika dosa muncul, kemuliaan Allah langsung meninggalkan manusia. Ini berarti kehilangan hak istimewa manusia sebagai wakil Allah untuk menjadi reflektor kemuliaan-Nya. Kehilangan kemuliaan Allah dari manusia, membuat manusia berada dalam suatu kondisi yang sangat menyedihkan. Manusia akan hidup tanpa hormat dan kemuliaan, pendidikan akan menolak kebenaran, hak-hak manusia tidak mempunyai kebaikan, pengetahuan tanpa hikmat, pernikahan tanpa kasih, dan ilmu pengetahuan tanpa hati nurani/kesadaran, kebebasan tanpa kontrol. Inilah yang terefleksi dalam kitab Yehezkiel bahwa kemuliaan Allah bergerak secara perlahan-lahan dan meninggalkan Bait Allah. Berarti penghukuman Allah sudah dekat, akhir dunia sudah berada di ambang pintu.

Sejak zaman Renaissance, pandangan dunia yang anthroposentris mengenai manusia alami telah mencoba untuk mengintepretasikan ‘Allah’ dan ‘jiwa’ melalui diri manusia sendiri yang berdosa sebagai titik pusat dari alam semesta. Dengan menjunjung tinggi rasio sebagai alat mutlak untuk untuk menemukan kebenaran dan menganggap natur sebagai tujuan akhir dari hasil yang dicapai untuk memecahkan semua problem manusia. Tapi sejarah menyatakan kesaksian yang jujur mengenai kegagalan manusia. Di bawah segala pencapaian hasil dangkal dalam ilmu pengetahuan, ekonomi, politik, pendidikan, psikologi, filsafat dan bahkan agama, ada penyebab, yang nyata dan konsisten, dari ketidakseimbangan dan masalah-masalah.

Lingkungan kita padat dengan jiwa-jiwa yang kosong sementara berlimpah materi, penuh kekuatiran akan perang sementara pembicaraan mengenai perdamaian tidak berhenti, penuh dengan ketidakamanan sementara dihasilkan senjata-senjata yang tercanggih. Bertambahnya angka bunuh diri sementara tersedia alat kehidupan yang lebih baik; kehancuran keluarga meningkat sementara kebebasan sex dan percintaan makin meluas. Kita sedang bermimpi dari Renaissance sampai abad 20 mengenai otonomi manusia yang lepas dari campur tangan Allah. Khususnya sejak abad 19, begitu banyak ideologi yang muncul untuk menciptakan suatu optimisme modern yang naif, termasuk theologi liberal, evolusionisme dan komunisme. Semua ini gugur pada perang-perang yang menakutkan dalam abad 20. Demikian juga dengan revolusi internasional, politik, komunisme dan politik nasional, dan filsafat eksistentialisme. Semua mencoba untuk memecahkan persoalan manusia tapi sekarang kita tetap hidup dalam situasi kacau, tanpa tahu ke mana tujuan sejarah ini.

Bagi zaman ini masalah intinya adalah mencari identitas manusia. Kita tetap berjuang untuk demokrasi, kebebasan, keadilan, dan hak-hak manusia. Tidakkah ini tetap mengatakan kepada kita bahwa dosa dan keterhilangan adalah fakta yang tidak dapat disangkal kaum Injili di seluruh dunia menegaskan ulang kesungguhan dari fakta dan efek dosa seperti yang diajarkan dalam Alkitab. Penegasan ini lebih dari sekadar kebutuhan mendesak dalam era post-liberal dan post-modern, secara theologis dan sosia-politis. Dengan pengertian mendalam mengenai kebutuhan orang-orang berdosa akan keselamatan, cinta kasih berapi-api bagi orang berdosa, mari kita dengan setia memberitakan Injil ke dalam dunia yang berdosa.

“Bertobatlah karena Kerajaan Allah sudah dekat.” “Lihat Anak Domba Allah yang mengangkat dosa seluruh dunia.” Kata-kata pendahuluan yang agung dari Injil tetap berlaku sampai akhir zaman. Mari kita berseru, “Bertobatlah hai umat, koyakkan hatimu, bukan jubahmu!” kepada para pemimpin dan umat di dunia! Tinggikan salib Kristus yang menjadi pengharapan satu-satunya dari umat manusia, agar Roh Kudus mengiluminasikan generasi kita untuk menerima Kristus. Biarlah seluruh makhluk dengan rendah hati mengaku dosa di hadapan Allah, untuk membuka kembali pintu surga dan memohon belas kasihan dan pengampunan dari-Nya, yang akan menyembuhkan dunia yang berdosa.

Yang layak adalah Anak Domba yang telah disembelih! Kemuliaan bagi-Nya untuk selama-lamanya!


Sumber : http://www.mriila.org/pustaka/artikel-dan-publikasi/dosa-dan-keterhilangan/